Seolah olah tak kunjung henti bangsa ini mendapat cobaan berat. Cita cita besar reformasi rupanya mendapat ujian yang tak kalah sengitnya dibanding perjuangan merebut kemerdekaan berikut dengan gerakan revolusinya itu.
Kenangan heroik masa lalu senantiasa menjadi penyemangat reformasi yang kini babak belur didera berbagai macam problematika mulai dari korupsi, pilkada, aliran sesat, konflik SARA, bencana alam yang silih berganti, hingga pencurian khazanah budaya.
Ditengah tengah semua gempuran itu bangsa ini harus tetap menjaga stamina. Seandainya generasi kita tak mampu menuntaskan semua cita cita reformasi maka strateginya adalah mempersiapkan anak anak kita sebagai penerusnya.
Apa yang harus kita beri pada anak anak kita adalah hal hal yang bisa memotivasi dan membangkitkan semangat perjuangan mereka. Karena itu pengetahuan akan sejarah merupakan faktor penting. Karena didalam sejarah kita bisa melihat kisah para pahlawan yang bisa dijadikan simbol.
Sosok pahlawan adalah simbol perekat yang sangat efektif. Sebut saja Panglima Besar Soedirman, Pangeran Dipenogoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja, Patih Jelantik, dan masih banyak lagi. Bung Karno sering sekali menceritakan kisah kepahlawanan dalam pidatonya untuk membakar patriotisme.
Disisi lain ada pengkhianat yang kisah pengkhianatannya merupakan arah sebaliknya dari kisah kepahlawanan. Posisi yang berseberangan tersebut membuat para pengkhianat dan para pahlawan tampil kontras selama segala informasi tentang sebuah pengkhianatan tercatat dengan akurat dalam rekaman sejarah. Tapi ada juga yang namanya oportunis yang berjalan mondar mandir dikedua sisi itu.
Disinilah pentingnya telaah sejarah atas sebuah kepahlawanan atau kepengkhianatan. Dengan minimnya pengetahuan dan telaah sejarah bisa dimungkinkan seorang pengkhianat diangkat menjadi pahlawan. Kalau ini sampai terjadi sungguh sebuah ironi. Semua penghargaan kepada para pahlawan seakan tidak memiliki makna lagi.
Karena itu prosedur dan kriteria untuk menentukan apakah seorang tokoh layak menjadi pahlawan nasional sangatlah ketat. Menurut pengalaman Soegianto Sastrodiwiryo yang pernah terlibat dalam memperjuangkan pengangkatan Patih Jelantik sebagai pahlawan nasional melalui buku yang ditulisnya “Perang Jagaraga 1846-1849”, paling tidak dibutuhkan beberapa kriteria antara lain:
- Perjuangannya dan pengabdiannya diatas rata rata (luar biasa hebat) dalam melawan kekuatan penjajah (dalam hal ini kolonialis Belanda)
- Tidak pernah menyerah dalam perjuangannya, kalau terdesak lebih memilih untuk berjuang sampai titik darah penghabisan. (dalam hal kasus Pangeran Diponegoro beliau ditipu lalu ditangkap oleh jenderal de Kock, bukan menyerah. Patih Jelantik gugur seperti halnya Ngurah Rai setelah terkepung disemua penjuru tempatnya bertahan).
- Tidak pernah melakukan penghianatan kepada negara.
- Perlawanan dilakukan secara aktif, entah bergerilya atau perang terbuka.
Jika kriteria yang ketat diatas ditambah lagi dengan berbagai macam prosedur pengajuan dari tingkat daerah sampai pusat maka seseorang yang telah lulus diberi gelar pahlawan nasional seharusnya sudah valid.
Menyambut hari Pahlawan 10 November 2007 Presiden SBY mengangkat 4 pahlawan baru yaitu: Mayjen TNI (pur) Prof Dr Moestopo, pejuang dari Jawa Timur; dan Brigjen TNI (Anumerta) Ignatius Slamet Rijadi, pejuang asal Jawa Tengah. Seorang pahlawan nasional baru lainnya adalah Dr Ide Anak Agung Gde Agung.
Keputusan Presiden yang sedang turun popularitasnya ini kontan menuai beberapa kritikan dari berbagai kalangan masyarakat. Diantaranya dari masyarakat Minang yang berharap tokoh minang seperti Moh Natsir bisa diangkat menjadi pahlawan nasional.
Dari masyarakat Jawa Barat berharap tokoh Mr Sjafrudin Prawiranegara yang dianggap layak sebagai pahlawan nasionalpun mengalami nasib yang sama dengan tokoh M Natsir.
Dari masyarakat Jawa Timur merasa heran dan tidak habis pikir Bung Tomo sebagai tokoh utama dalam perang 10 November di Surabaya hingga membuat tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari pahlawan justru tidak diangkat sebagai pahlawan tahun ini.
Kemudian yang terasa benar benar naif adalah diangkatnya AA Gde Agung sebagai pahlawan nasional. Kalau M Natsir dan Mr Sjafrudin Prawiranegara yang kemungkinan dianggap terlibat dalam pemberontakan PRRI dalam kurun 1957-1961 tidak bisa lolos maka mengapa AA Gde Agung yang jelas jelas memihak Belanda dalam perang kemerdekaan kurun waktu 1945-1949 bisa lolos?
Kalau Bung Tomo tidak bisa lolos karena belum sempat diseminarkan didaerah untuk mengetahui apakah ada pihak pihak yang berkeberatan dengan diangkatnya beliau menjadi pahlawan nasional maka mengapa AA Gde Agung yang sudah jelas banyak pihak akan berkeberatan terutama dari tokoh tokoh pejuang di Bali masih bisa lolos?
Kalau untuk Bung Tomo tidak pernah dilakukan seminar mungkin karena ketokohan beliau sudah tidak ada lagi yang meragukannya sehingga rakyat Jawa Timur tidak merasa perlu menggelar seminar segala untuk mencari tahu apakah ada pihak yang berkeberatan atau tidak. Sebagai icon perang 10 November rasanya tidak ada yang akan keberatan beliau diangkat sebagai pahlawan nasional.
Kembali ke AA Gde Agung. Saya tidak mengerti pertimbangan pemerintah ini. Jika belum ada diantara kita yang mengacungkan tangan tanda keberatan dengan diangkatnya AA Gde Agung sebagai pahlawan nasional maka dengan ini saya menyatakan keberatan saya.
Betapa tidak, AA Gde Agung adalah seorang Raja dari Puri Gianyar Bali yang pada masa perjuangan secara tegas dan frontal berpihak kepada Belanda. Puri Gianyar memiliki sebuah kesatuan tempur lokal yang bernama PPN (Pemuda Pembela Negara).
PPN ini bersekutu dengan NICA dan bergerak secara aktif langsung di bawah komando AA Gde Agung menjadi pelopor serdadu NICA dalam menggempur gerakan para pejuang.
Setelah mendapat bantuan senjata lengkap dari NICA, PPN menggempur gerakan organisasi pemuda PRI (Pemuda Republik Indonesia). Dengan persenjataan yang lebih lengkap dan modern PPN berhasil mematahkan perlawanan PRI dan menangkap pimpinan PRI; Wayan Dipta, kemudian membunuhnya dengan cara yang keji.
Menurut kesaksian seorang pejuang Nyoman S Pendit yang ditulisnya dalam buku Bali Berjuang hal 145: PPN menangkap Wayan Dipta lalu mengkuliti kepalanya dan anggota badannya diiris-iris sebelum kemudian ditembak mati. Suatu perlakuan keji yang sangat menyakitkan hati para pejuang.
Tindakan AA Gde Agung dengan PPN nya itu membuat situasi psikologis Puri Puri yang lain menjadi ragu akan kekuatan pemuda. Keadaan ini membuat pimpinan perjuangan Letkol Gusti Ngurah Rai beserta pasukannya harus bekerja lebih keras untuk melobi Puri Puri. Simpati Puri ini sangat penting sebab Puri memiliki pengaruh besar terhadap rakyatnya. AA Gde Agung sangat lihai memainkan sentimen rivalitas lama diantara Puri untuk memecah belah persatuan.
Teknik pecah belah Belanda sudah dikuasai betul oleh AA Gde Agung. AA Gde Agung adalah ujung tombak Belanda untuk melancarkan politik pecah belah terhadap Negara Kesatuan RI. Konsep negara boneka yang diusung oleh Belanda yang bertujuan memecah belah persatuan didukung penuh AA Gde Agung.
Sebuah tusukan yang sangat tajam bagi perjuangan pemuda ketika sebuah negara boneka Negara Indonesia Timur (NIT) dibentuk oleh Belanda dengan Tjokorda Gde Raka Sukawati (ayahanda AA Gde Agung) sebagai Presidennya. Kemudian AA Gde Agung diangkat sebagai Perdana Menteri NIT. Adalah H.J. van Mook yang menjadi konseptor pembentukan NIT yang merupakan manifestasi dari politik pecah belah Belanda.
Wilayah NIT meliputi Indonesia bagian timur tanpa menyertakan Irian Barat. Belanda masih ingin memecah lagi Indonesia bagian timur dengan tidak menyertakan Irian Barat kedalam NIT. Design ini merupakan strategi pecah belah yang sangat dipahami oleh AA Gde Agung.
AA Gde Agung adalah seorang diplomat yang cerdas. Punya naluri politik yang tajam. Tahu kemana harus berpihak dan bagaimana bersikap ketika kekuatan sudah mulai bergeser. Ketika masa perjuangan fisik dimana kekuatan Belanda lebih dominan beliau memilih untuk memihak Belanda dengan segala keahliannya sebagai diplomat dan politisi.
Namun kemudian ketika Belanda mulai melemah dan kehilangan pamor di dunia international karena melanggar perjanjian Linggarjati dan Renville dengan melakukan agresi militer pertama dan agresi militer kedua maka AA Gde Agung mulai berpaling kepada Republik.
Hasil dari Konferensi Meja Bundar di Den Haag adalah dibentuknya Republik Indonesia Serikat dimana anggotanya adalah negara negara boneka bentukan Belanda termasuk NIT. Melihat pergesaran ini menjelang penyerahan kedaulatan dari NIT kepada RIS, AA Gde Agung berpidato mendukung masuknya Irian Barat ke dalam wilayah RIS. Ini adalah manuver brilian menarik simpati kaum Republikan.
Pada masa masa selanjutnya ketika kekuatan dan dukungan rakyat maupun dunia international terhadap Republik Indonesia semakin besar maka semakin mantap pula AA Gde Agung berpaling dan memihak RI. Kecerdasan dan keahlian beliau dalam diplomasi membuatnya dipercaya oleh Bung Karno untuk menjabat Menteri Luar Negeri terutama untuk diplomasi soal Irian Barat.
Dari semua kisah diatas saya tidak melihat kisah kepahlawanan nasional. Kisah yang terlihat hanyalah kisah sukses seorang oportunis yang brilian. Sangat disayangkan bila pemerintah tidak bisa melihat akan hal itu.
Kemarin saya nonton sebuah acara dialog di TVRI dengan nara sumber Parni Hardi dan Rais Abin seorang veteran pejuang 45 dengan mengambil tema hari pahlawan. Dalam dialog tersebut dibahas tentang betapa pentingnya sebuah bangsa mengetahui sejarah untuk mengenal para pahlawan.
Pengenalan terhadap sejarah terlebih lebih harus dikuasai oleh para pemimpinnya ujar Rais Abin. Seorang negarawan adalah seorang yang mengetahui sejarah dengan baik tukasnya lebih lanjut. Parni Hardi terlihat gusar dan segera menyergah untuk mengklarifikasi bahwa yang dimaksud Rais Abin adalah Presiden sebagai sosok pemimpin negarawan.
Keputusan Presiden SBY mengangkat AA Gde Agung sebagai pahlawan nasional mencerminkan kegamangan SBY dalam melihat sejarah. Apakah mungkin karena SBY sedang sibuk memikirkan citranya yang sedang merosot hingga tak sempat lagi mengurusi dengan cermat akan hal ini?
Diakhir acara dialog TVRI itu tampil Putu Wijaya membawakan sebuah monolog singkat tentang pahlawan sejati. Diakhir monolog Putu berkomentar bahwa jangan salahkan generasi muda yang bisa keliru dalam melihat sejarah karena mereka akan selau mencari informasi tentang sejarah dari berbagai pihak. Adalah kewajiban kita untuk menampilkan sejarah bangsa dengan cermat dan lengkap.
Semoga tulisan saya diatas bisa memberi informasi yang lebih lengkap tentang kiprah pahlawan, pengkhianat atau oportunis. Sehingga bisa menghindari ironi dimana seorang oportunis nasional diangkat menjadi pahlawan nasional.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa jasa para pahlawannya. Sungguh sebuah tragedi kalau musuh utama para pahlawan tersebut diangkat menjadi pahlawan juga. Siapapun tak akan rela melihat Ngurah Rai disejajarkan dengan AA Gde Agung yang merupakan musuh besarnya. Belum lagi arwah para pejuang yang lain seperti Wayan Dipta yang dibunuh PPN pimpinan AA Gde Agung akan menjerit melihat AA Gde Agung diangkat menjadi pahlawan nasional.
Siapapun anda jika mendengar jeritan para pahlawan sejati dari alam sana maka silahkan bergabung dalam petisi online yang saya buat untuk menentang diangkatnya AA Gde Agung menjadi pahlawan nasional. Jangan takut, semangat Ngurah Rai dan pasukannya bersama kita.
Kata Bung Tomo:
…rawe-rawe rantas malang-malang tuntas…
Petisi Online: http://www.petitiononline.com/gdeagung/petition.html