The Raid

foto diambil dari facebooknya yayan ruhiat
Film ini menuai banyak pujian, awal-awal karena sederet penghargaan dari dunia International:

1. Winner (Best Midnight Madness Film – People’s Choice Award) Toronto Film Festival (2011).
2. Official Selection Sundance Film Festival (2012).
3. Official Selection SXSW Film Festival (2012).
4. Winner (Best Action Film) Baliwood (2011).
5. Winner (Best Action Film) INAFF 2011 (Indonesia International Fantastic Film Festival).
6. Official Selection SITGES 2011 (International Fantastic Film Festival).
7. Official Selection Busan International Film Festival 2011.
8. Official Selection Fright Festival 2012.
9. Winner (Best Film – Dublin Film Critics) Dublin Film Festival 2012.
10. Official Selection Glasgow Film Festival 2012.
11. Official Selection Moma ND/NF Film Festival 2012.

Sumber: Yoga Efendi

Lalu pujian dari kesaksian orang orang yang sudah pernah menonton film ini ada di mana mana, di IMDB, Twitter dan Facebook. Itu bukan hanya orang Indonesia loh, kebanyak dari luar negeri karena film ini juga ditayangkan di luar negeri setelah dibeli oleh Sony Picture. Ok saya rasa kalo soal reputasi sudah cukup, tidak usah lebay… mari kita masuk ke review filmnya.

Pertama-tama yang bisa saya sampaikan film ini hanya untuk orang dewasa, hanya orang tua bodoh yang membawa putra-putrinya ikut nonton. Semua adegan action dipertontonkan secara vulgar dan penuh darah, dari gerakan memukul, menendang, membacok, menggorok, menusuk, membanting lawan ke property yang bukan terbuat dari styrofoam dan seterusnya…

Film ini plotnya datar, mungkin sengaja gak dibikin ribet supaya penonton gak perlu susah berpikir dan bisa fokus menikmati actionnya. Saya rasa memang apa yang dijual oleh film ini adalah action silatnya dimana Iko Uwais dan Yayan Ruhiat sebagai koreografer berhasil membuat film ini tidak kalah dengan film-film Kungfu Hongkong atau bahkan film Kungfu yang sudah ada sentuhan Hollywood seperti Crouching Tiger Hidden Dragon. Kalo film-filmnya Stevan Seagal, Jean-Claude Van Damme, Chuck Norris atau Michael Dudikoff lewat lah sama The Raid.

Sutradara Gareth Evans berhasil memaksimalkan kekuatan filmnya pada action hingga menutupi unsur lain dalam film yang sebenarnya kurang bagus seperti dari sisi akting dan dialog. Bahkan dialognya menurut saya yang paling kurang, sebagai contoh diawal film ada adegan Rama sedang sholat kemudian selesai sholat Rama menghampiri istrinya yang sedang hamil tua di tempat tidur hendak pamit berangkat ke misi berbahaya. Selesai ngobrol pamitan Rama bilang “Aku cinta kamu”, lalu istrinya menjawab, “Aku juga cinta kamu”… halah… gak ada dialog kaya gitu di Indonesia, itu hanya ada di Barat, sepertinya memang dialognya terjemahan bahasa Inggris. Pinternya Gareth Evants tidak membuat banyak adegan dialog drama dalam filmnya.

Kemudian dari sisi akting hanya aktor senior Ray Sahetapy yang berhasil mentransformasi kekuatan aktingnya untuk menghidupkan karakter perannya, yang lain butuh action berdarah-darah. Padahal Ray hanya kebagian scene sedikit. Untuk yang muda-muda saya suka komandan pasukan, Joe Taslim dan tukang jagal dengan logat Ambon, Godfred Orindeod. Iko dan Yayan keliatannya lebih mengandalkan aksi laganya untuk membentuk karakter yang diperankan.

Film ini ada sekuelnya, judulnya Berandal, semoga apa yang kurang di film ini bisa diperbaiki di sekuelnya. Selain aksi laga film ini mudah ditebak jalan ceritanya. Jika mau lebih bagus lagi ada baiknya aksi yang dijual tidak dimonopoli oleh aksi silat Iko dkk, tapi bisa diimbangi dengan plot atau cerita seperti film Speed.

Tinggalkan komentar

Filed under sinema

Jakarta Lawyer’s Club: Penegakan Hukum Terhadap Aksi Kekerasan

Jakarta Lawyer’s Club minggu lalu membahas soal Penegakan Hukum Terhadap Aksi Kekerasan, terjadi beda pendapat:

Imam Prasodjo: segregasi sosial menyebabkan konflik mudah tersulut diperparah dengan penegak hukum yang lemah, kunci utama adalah menekan segregasi sosial disusul penegakan hukum

Karni Ilyas: tak masalah ada segregasi sosial selama hukum ditegakkan maka tak akan ada yang berani berkonflik, dengan contoh di Kanada kunci utamanya adalah penegakan hukum.

Erlangga Masdiana: tak masalah segregasi sosial asalkan terjadi dialog antara kelompok dan hukum ditegakkan.

Menanggapi Karni, pikiran Karni ini terlalu idealis, menurut saya dengan kondisi penegak hukum seperti sekarang maka masyarakat yang tersegregasi secara sosial akan memperberat kerja mereka. Solusinya tekan segregasi sosial sambil berbarengan dengan perbaikan penegakan hukum.

Menanggapi Erlangga, pembaruan sosial sudah built-in dialog didalamnya, membina dialog pada masyarakat yang tersegrasi secara sosial tidak efektif karena butuh effort terpisah, tidak alamiah.

Kerja penegak hukum akan jauh lebih mudah pada masyarakat yang membaur, konflik akan bisa diredam karena dialog alamiah bisa tercipta dari perkenalan antara elemen kelompok lain dalam satu lingkungan.

Menurut Imam Prasodjo pembauran bisa dirancang sedemikian rupa dalam bentuk kebijakan pemerintah, misalnya pada perumahan, tempat ibadah, tempat kerja, sekolah, kampus, pasar, penamaan, dan banyak lagi yang selama ini belum diatur.

Bagaimana menurut anda?

Tinggalkan komentar

Filed under sosial, televisi

Inception

Pernahkah anda bermimpi, dalam tidur tentunya? Pernah suatu kali ayah saya bermimpi sedang berkelahi melawan mahluk buas dan bengis. Pertarungan itu begitu seru sehingga ayah berteriak teriak sambil tidur. Ibu kemudian membangunkan ayah dengan menepuk pundaknya dan seketika ayah terbangun sambil dengan sigap menangkis tepukan dipundaknya.

Ternyata dalam mimpi itu ayah sudah terdesak oleh mahluk buas itu yang akan mengigit pundaknya. Begitu mahluk dalam mimpi itu menggigit maka rasanya benar benar nyata dan ternyata itu adalah tepukan pada pundak yang dilakukan oleh Ibu.

Ayah menceritakan mimpinya itu cukup lama. Jalan ceritanya cukup panjang sebelum digigit di pundak. Bagaimana mungkin bisa sesuai timing cerita dalam mimpi itu dengan momen tepukan di pundak. Kemungkinan yang bisa saya bayangkan adalah ketika pundak ayah ditepuk informasi tepukan dikirim ke otak dan oleh otak kemudian dibuatkan skenario tersebut. Berarti otak dapat membuat sebuah skenario cerita mimpi yang cukup panjang dalam waktu yang sangat singkat.

Inception

Ternyata pikiran saya itu seperti mendapat pembenaran dalam film Inception. Dalam film ini dikatakan bahwa satu menit bermimpi sama dengan 10 menit dalam alam mimpi. Kemudian juga dalam film Inception ini mimpi dapat bertingkat tingkat. Orang dalam sebuah mimpi dapat bermimpi lagi dan tentunya berlaku juga hukum relatifitas waktu seperti diatas.

Dengan sebuah teknologi dan melalui pelatihan dari ahlinya seorang dapat berbagi mimpi (shared). Artinya kita bisa masuk ke mimpi orang lain ketika sama sama tertidur dengan bantuan sebuah alat canggih.

Ketika kita masuk ke mimpi seseorang maka kita akan melihat dan mengetahui hal hal yang ada dalam pikiran orang tersebut. Kemampuan inilah yang digunakan untuk menggali informasi rahasia yang sudah terkubur jauh didalam hati. Bahkan kemampuan masuk ke alam mimpi ini dapat digunakan untuk menanamkan doktrin tertentu yang akan terbawa terus hingga orang tersebut tersadar dari alam mimpinya.

Sutradara: Christopher Nolan

Ini yang terjadi pada Cobb -diperankan oleh Leonardo DiCaprio- ketika ia untuk pertama kali mencoba kemampuan tersebut pada istrinya sendiri, Mallorie -diperankan oleh Marion Cottilard- yang berakibat pada kematiannya. Cobb kemudian menyadari bahwa tekniknya berhasil namun harus kehilangan istrinya dan harus menghadapi tuduhan pembunuhan. Cobb menghilang dari kejaran hukum dan bertemu seseorang yang berminat menggunakan keahlian Cobb tersebut untuk kepentingan pribadinya dengan imbalan Cobb akan mendapatkan kembali hidupnya bersama anak anaknya dan pembersihan namanya dari segala tuduhan.

Cobb sangat mencintai istrinya dan anak anaknya. Ia ingin hidup normal dan mempertimbangkan tawaran terakhir tersebut. Tapi Cobb butuh tim untuk bekerja dan merekrut mahasiswa berbakat dalam bidang arsitektur karena Cobb harus mendesign mimpi yang rumit.

Tim telah terbentuk dan mereka harus terjun ke mimpi hingga kedalaman tiga tingkat bersama korban yang ingin mereka korek informasinya. Pada mimpi tingkat ketiga munculah Mallorie yang memang dalam alam mimpi Cobb selalu muncul walaupun dalam alam nyata Mal sudah meninggal. Serunya film ini adalah pada pergulatan pada relatifitas waktu antara mimpi yang bertingkat tingkat.

Jika seseorang terbunuh dalam alam mimpi maka orang tersebut akan terbangun ke alam nyata. Jika mimpi tersebut bertingkat maka ia akan terbangun pada tingkat diatasnya. Namun pada operasi ini tidak sesederhana itu karena ada tambahan obat bius yang digunakan sehingga jika terbunuh maka orang tersebut tidak akan segera terbangun pada mimpi ditingkat diatasnya namun akan terjatuh pada area mimpi tak bertuan, tak memiliki koneksi dan tak memiliki design. Area ini bernama Limbo.

Teknik untuk mengetahui apakah sedang berada dalam mimpi atau alam nyata Cobb menggunakan semacam gasing yang diputar. Jika gasing tersebut berhenti berputar maka artinya alam nyata, namun jika gasing tersebut tidak berhenti berputar maka artinya sedang berada dalam alam mimpi.

Diakhir cerita mirip film Leonardo sebelumnya Shutter Island yang menyisakan teka teki apakah akhir cerita Cobb telah benar-benar kembali ke alam nyata atau tetap berada dialam mimpi. Saya punya analisi tapi silahkan nonton dulu filmnya baru kita diskusi. Film ini lebih bagus dibanding Shutter Island karena ada Marion Cottilard peraih Oscar aktris terbaik 2007, saya nonton filmnya: Public Enemies dan Nine. Kalimat terakhir saya itu spoiler, jangan dianggep.. 🙂

6 Komentar

Filed under sinema

Shutter Island

Ted and Chuck

Sinopsis:

Seorang pasien gila bernama Rachel Solano yang sangat berbahaya telah menghilang dari sebuah rumah sakit jiwa khusus. Rumah sakit jiwa tersebut khusus merawat pasien sakit jiwa yang paling berbahaya hingga ditempatkan di sebuah pulau terpencil bernama Shutter Island. Pemerintah Amerika mengirimkan seorang agen federal kawakan bernama Teddy Daniels untuk menyelidiki peristiwa tersebut.

Ted ditemani seorang agen muda bernama Chuck Aule. Ted sebenarnya memiliki misi pribadi ke pulau tersebut untuk mencari seorang penjahat yang telah membunuh istrinya. Penjahat tersebut bernama Andrew Laeddis yang diyakini oleh Ted dikirim ke Shutter Island karena profil kejahatan Laeddis yang karakteristiknya seperti kejahatan penjahat dengan gangguan jiwa.

Ketika Ted tiba di pulau Shutter Island, Ted mencium aktifitas illegal yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit Jiwa terhadap para pasiennya. Begitu tertutupnya pihak Rumah Sakit Jiwa akan akses pada catatan para pasien dan pegawai membuat Ted memutuskan menghentikan penyelidikan Rachel Solano dan memberikan laporan kepada pemerintah federal untuk melakukan penyelidikan lebih dalam tentang Rumah Sakit Jiwa tersebut.

Satu satunya akses ke dan dari pulau Shutter Island adalah kapal fery yang tak bisa segera datang karena cuaca buruk. Ted tak bisa kembali dan memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan. Indikasi praktek ilegal semakin kuat ketika Ted bertemu dengan Rachel Solano pasien yang dilaporkan hilang tersebut.

Ted peluk istri dalam halusinasi

Terjebak di pulau yang sedang dilanda badai dan angin topan, Ted yang veteran Perang Dunia II itu harus berjuang tidak hanya untuk keluar dari pulau tapi juga harus berjuang menyelamatkan kewarasannya karena pihak Rumah Sakit Jiwa telah memberinya obat obatan yang membuatnya berhalusinasi akan masa lalunya ketika perang. Wujud almarhum istri yang sangat dicintainya selalu muncul dan berdialog dengannya membuat pergulatan emosi yang sangat kuat. Semua teka-teki, kejanggalan, keanehan dan kerancuan antara kenyataan dan halusinasi membuat Ted mulai tidak yakin dengan kewarasannya…

Leonardo DiCaprio

Leonardo memerankan Teddy Daniels dengan karakter yang kuat antara Ted sebagai agen federal dan Ted sebagai orang yang bimbang. Bahkan untuk film film sebelumnya Leonardo tak tampil seperti di film ini. Leonardo pada Titanic terlalu pop, terlalu jagoan pada The Gangs of New York. Pada film Catch Me If You Can menurut saya justru Tom Hanks rekan main Leonardo yang lebih berhasil membangun karakter.

Pada film ini akting Leonardo membuat kita terbawa pada cara pandang seorang agen federal yang cerdas tapi kemudian sama sekali tak terduga ada karakter kerapuhan jiwa sang agen handal itu. Tidak berlebih kalau saya katakan akting Leonardo kali ini adalah yang paling berbeda kalau dikatakan akting yang terbaik mungkin akan dianggap spoiler.

Martin Scorsese

Leonardo dan sutradara Martin Scorsese telah bekerja sama untuk yang keempat kalinya dalam film. Tentu semakin sering mereka bekerjasama semakin terjalin chemistry yang menghasilkan karya yang lebih baik. Kerja bareng mereka di film The Aviator menghasilkan beberapa nominasi Oscar. Jangan kaget bila kerjasama mereka kali ini akan masuk nominasi lagi pada Academy Award 2010. Menurut saya Martin berhasil membawa naskah berdasarkan novel karya Dennis Lehane yang sudah penuh dengan dialog dalam plot yang berliku kedalam visual yang artistik menegangkan.

Poster

Adegan Ted berdialog dengan Rachel dalam goa dekat mercusuar sangat artistik menurut saya. Kemudian adegan Ted masuk ke lorong di bangsal yang gelap untuk mencari Laeddis membuat penonton fX Platinum XXI tempat saya menonton beberapa kali menjerit -terutama wanita- ketika Ted menyalakan korek api. Mungkin itu sebab poster filmnya dipilih adegan Leonardo sedang memegang korek api.

Review

Menonton film ini saya teringat sebuah pertunjukan teater Koma dari naskah karya Evalds Flisar dengan tema exploitasi pasien gangguan jiwa. Tema ini sangat menarik untuk dibuatkan permainan plot yang tak terduga untuk menghasilkan kisah thriller. Dalam cerita yang berjudul “Kenapa Leonardo” tersebut dikisahkan sebuah klinik syaraf dan kejiwaan yang melakukan eksperimen terhadap pasiennya untuk menciptakan manusia super. Persis seperti apa yang dilakukan di Shutter Island.

Film ini bukan untuk yang mencari sekedar hiburan pelepas penat diakhir pekan. Film ini butuh konsentrasi untuk dipahami plotnya. Mengira ngira siapa berperan sebagai siapa. Menduga duga siapa pelaku kejahatan dalam teka teki yang tersamar. Juga butuh jantung yang sehat dan tentu saja akal yang waras sebab bisa jadi anda akan berdebat sengit dengan partner anda menonton tentang siapa sebenarnya yang nyata… “kewarasan” anda akan diuji dalam perdebatan itu nanti 🙂

20 Komentar

Filed under sinema

Java Jazz Festival 2010 Hari Pertama

JavaJazz

Pukul 17 saya masih di Mampang, padahal JJF sudah mulai dari jam 16. Macet membuat saya baru dapet parkir di JIExpo Kemayoran pukul 20. Calo bertebaran di mana mana menawarkan tiket dengan agresif kalo gak bisa dibilang maksa. Sadar saya sudah tak mungkin lagi nonton RAN maka saya langsung ke John Legend. Selepas itu baru deh ngelencer kemana mana… cuci mata…

Dari satu panggung ke panggung lain. Menarik diperhatikan bahwa event ini adalah festival dan bukan konser yang fokus pada panggung. Ada banyak panggung yang bisa dipilih, saking banyaknya bisa bingung.

Karena banyak pilihan tentukan dulu panggung mana dan jam berapa. Apalagi misalnya jika anda membawa pasangan, lebih baik sepakat dulu daripada karena gak enak ama pasangan akhirnya ngalah nonton di panggung yang tidak diinginkan.

Karakteristik panggung ternyata berbeda beda. Ada yang dengan kursi nonton di studio TV, ada yang lesehan dan bahkan ada yang berdiri. Ada yang membebaskan pengunjung keluar masuk, ada yang tidak. Saya lebih suka panggung yang lesehan ketimbang pake kursi. Lebih santai dan memang menurut saya sebaiknya demikian Jazz di nikmati.

Panggung yang membebaskan pengunjung keluar masuk lebih tepat dari pada yang diatur. Pada panggung Indra Lesmana, Donny Suhendra, Gilang Ramadhan, Matez, Dewa Budjana dkk pengunjung dibebaskan keluar masuk Hall. Memang penuh tapi tertib, penonton tahu sendiri bahwa penuh gak mungkin bisa dipaksakan.

Beda dengan panggung Ecoutez yang dibatasi. Karena kami mau nonton Sandy Sondoro yang sesinya setelah Ecoutez dipanggung yang sama maka kami antri. Tapi tidak diperbolehkan masuk. Hanya diperbolehkan masuk sedikit demi sedikit, sudah 45 menit antri dan antrian belum juga mendekat ke pintu padahal sesi Sandy sudah lewat setengah jam.

Apa yang terjadi? Selidik punya selidik ternyata penonton Ecoutez pada sesi sebelumnya tidak mau keluar Hall, mereka lanjut nonton Sandy. Sebenarnya tidak masalah, asal antrian diluar diberi tahu duduk persoalannya. Seandaianya kami dibiarkan saja masuk maka pastilah bisa dipahami bahwa Hall sudah penuh dan bisa memutuskan untuk ke panggung yang lain. Apa yang terjadi adalah kami mengira ada penundaan show dari Sandy Sondoro sehingga antrian sabar menanti. Dengan kecewa kehinglangn waktu 45 menit maka kami putuskan untuk makan dulu. Gak jadi nonton Sandy Sondoro.

Karakteristik pengunjung juga beragam, tidak hanya menengah ke atas. Tapi mereka semua antusias. Apakah mereka semua benar benar penikmat Jazz betulan? Saya tidak terlalu yakin sama seperti diri saya sendiri yang hanya menikmati Jazz setelah terjadi “sinkretisme” dengan genre lain terutama POP.

Tapi paling tidak tujuan saya datang ke festival jazz ini adalah justru untuk tahu lebih banyak tentang Jazz yang Jazz, bukan POP yang Jazzy. Rata rata pengunjung lebih memenuhi panggung yang Jazzy ketimbang yang Jazz. What the hell. Dari pada pusing dengan semua itu saya nikmati saja “pemandangan” yang ada.

Sheila Madjid jadi pilihan terakhir sebelum pulang. Hall penuh, dibuka dengan Warna Warna, penonton yang semula lesehan jadi berdiri semua. Sheila sempat tanya “who grew up with my music here…”, spontan saya angkat tangan loncat loncat diikuti banya penonton yang lain. Tapi kemudian Sheila lanjut sambil terkekeh: “you must be arround 34 or above.. yeah…”. Banyak yang lantas menurunkan tangannya termasuk saya… hehehe…

Sheila: “i will make you feel young with 80’s age song”. Menikmati lagu lagu Sheila dengan irama Jazz mengisi kekosongan, apparently she was right about it. Setelah single yang tunggu tunggu “Aku Cinta Padamu” selesai saya cabut…

Sekarang mau kesana lagi, kali ini bawa kamera… ciao…

1 Komentar

Filed under musik

Koin Keadilan

Perkembangan kasus Prita Mulyasari memicu solidaritas masyarakat secara spontan. Solidaritas dalam bentuk pengumpulan uang receh yang disimbolisasikan dengan “koin keadilan”. Posko (pos koin) penampungan koin muncul dimana mana hampir di seluruh Indonesia. Ganti rugi yang ditetapkan oleh pengadilan yang mencapai jumlah 204 juta rupiah menjadi target konkret pengumpulan, sementara target wacana adalah simbolisasi perlawanan rakyat kecil terhadap kekuasaan yang menindas.

Adanya dua target ini sering kali memicu perbedaan cara pandang, terutama dari orang orang yang memiliki pola pikir yang berbeda. Perbedaan ini sering dikumandangkan di social media seperti Twitter, blog ataupun Facebook. Semula ini hal yang tidak terlalu mengganggu, dinamika yang sangat lumrah di arena social media.

meeting di wetiga

Namun rupanya pengaruh social media ini sudah lebih kuat dari apa yang saya kira. Cara pandang yang berbeda ini mengalami penguatan disana sini hingga ke media mainstream. Malam itu (7 Des) di Wetiga kami sedang meeting bersama beberapa blogger lain diantaranya Ndoro Kakung, Enda Nasution, Paman Tyo, Ndaru dan hadir juga praktisi hukum Ari Juliano. Pada kesempatan meeting itu hadir beberapa wartawan dari berbagai media mainstream.

Kebetulan saya sempat diwawancara wartawan RCTI untuk Seputar Indonesia (Dady Suryadi) perihal layanan website Paypal yang diprovide oleh CyberGL untuk berpartisipasi dalam memenuhi target konkret ganti rugi 204 juta.

wartawan RCTI

Semula saya mempersiapkan diri untuk berbagai pertanyaan yang sifatnya teknis tentang payment gateway Paypal.com yang kami gunakan. Tapi agak sedikit diluar dugaan pertanyaan juga menyinggung soal perbedaan cara pandang diatas. Sejak dari mewawancara Ndoro Kakung banyak pertanyaan pertanyaan yang muncul seputar: kenapa Prita didukung habis habisan? kenapa koin? harus koinkah? kalau melebihi target bagaimana? bagaimana kalau tuntutan batal? Pertanyaan pertanyaan tersebut persis seperti apa yang beredar di social media.

Kalau kita bisa memandang hal ini dari dua persepsi tentang target diatas maka mungkin tidak perlu ada perdebatan seperti ini. Bagaimana saya melihat gerakan Koin Keadilan ini bisa saya tuliskan disini dan semoga bisa menjawab beberapa pertanyaan yang krusial.

Pertama tama tentang perbedaan antara target wacana dan target konkret. Ketika kita ingin mewujudkan sesuatu yang konkret maka biasanya dimulai dari wacana. Ketika kita sudah terlatih untuk mewujudkan wacana menjadi hal yang konkret maka wacana seperti tidak terasa, seperti orang bernafas, kita tak sadar bahwa kita sudah bernafas setiap saat yang membuat kita hidup dan mampu berbuat hal hal yang konkret.

Tapi ketika berwacana saja kita “tersengal-sengal” maka hal konkret apa yang bisa kita wujudkan? Untuk melancarkan berwacana dalam kondisi yang “tersengal-sengal” sering kali dibutuhkan “alat” bantu berupa “simbol”. Jaman dahulu wacana tentang keadilan disimbolkan dengan “Ratu Adil”.

Ratu dalam bahasa Jawa artinya Raja. Tempat tinggal Raja disebut ke-Ratu-an (keraton). Simbol “Ratu Adil” artinya penguasa yang adil. Tapi apakah penguasa yang adil tersebut konkretnya berupa Raja? ternyata tidak. Inilah bedanya. Simbol digunakan untuk berwacana sedangkan konkretnya tidak secara harfiah diterjemahkan sesuai textnya.

Pemilihan simbol diambil dari pola pikir masyarakatnya. Jaman dahulu simbol kekuasaan adalah Raja. Maka munculah konsep “Ratu Adil”. Konsep ini bukan untuk melanggengkan sistem kerajaan, tapi justru ingin keluar dari segala macam bentuk ketidakadilan dengan meminjam pola pikir masyarakatnya. Jadi simbol bisa muncul sedemikian rupa hingga bisa mengecoh akal sehat dari orang yang memiliki pola pikir yang berbeda.

Bila terjadi “miskonsepsi” bisa berakibat pada wacana yang hanya tinggal wacana dan tidak kunjung menjadi hal yang konkret. Kita tentu tak ingin terjebak pada situasi seperti ini. Banyak hal yang merefleksikan hal ini sekarang. Seperti misalnya hal tentang nasionalisme, tentang pelestarian budaya, tentang solidaritas dan berbagai hal yang terasa lebih banyak wacananya ketimbang hal konkretnya.

Mengkonkretkan wacana memang bukan hal yang mudah. Butuh latihan dan konsistensi dalam wacana itu sendiri. Bahkan pada tingkat negara ada legislatif yang berwacana (membuat undang undang) dan ada eksekutif yang mengkonkretkannya (menjalankan undang undang) dimana dalam prosesnya perlu pengawasan dan evaluasi.

Jika proses “pengkonkretisasian” itu dirasa tidak berhasil maka rakyat akan mencari jalannya sendiri. Contoh ekstrem dalam sejarah adalah reformasi sebagai wacana tahun 1998 dimana rakyat bersatu “mengkonkretkan” keadilan politik di negeri ini, walaupun wacana reformasi belum tuntas hingga kini.

Apa yang terjadi pada kasus Prita adalah gejala yang sama. Koin muncul sebagai simbol perlawanan rakyat kecil pada kekuasaan yang menindas. Tapi secara konkret tentu tidak harus harfiah berupa “koin”. Ada tujuan konkret dimana angkanya adalah 204 juta rupiah. Sedangkan tujuan wacana adalah perlawanan atas ketidakadilan dimana simbol keberhasilannya adalah pembebasan Prita dari segala tuntutan hukum.

Kalau kita bisa melihat dari dua sisi ini maka tak perlu bingung ketika misalnya terjadi penarikan tuntutan oleh RS OMNI atas Prita. Sebab apa yang terjadi adalah keberhasilan wacana perlawanan terhadap ketidakadilan dimana koin sebagai simbol telah berfungsi dengan sangat baik sebagai “alat” dari wacana perlawanan tersebut. Simbol koin berhasil menggerakan hati masyarakat dari berbagai lapisan untuk berbuat konkret mengumpulkan rupiah demi mendukung wacana perlawanan atas ketidakadilan.

Sedangkan hasil konkret bernilai ratusan jutaan rupiah (dalam bentuk koin maupun uang kertas) tidak akan kehilangan makna karena wacananya adalah melawan ketidakadilan dan bukan membantu Prita secara pribadi tapi membantu Prita yang dalam hal ini telah menjelma menjadi simbol.

Jadi bila ada yang mempertanyakan kenapa Prita didukung habis habisan karena Prita telah menjelma menjadi simbol. Lalu kenapa Prita bisa muncul sebagai simbol dan kenapa nenek Minah atau korban Lapindo kurang berhasil berfungsi sebagai simbol?

Simbol perlu diartikulasikan. Jaman perang kemerdekaan pidato para orator menjadi media artikulasi simbol simbol perlawanan. Kini kita berada pada era informasi. Lebih tepatnya era social media. Dimana media mainstream tidak bisa lagi seperti dulu menjadi satu satunya rujukan informasi bagi publik.

Era social media mengubah sama sekali bagaimana kita mendapatkan informasi secara lebih cepat, lebih transparan dan lebih akurat. Dengan karakteristik seperti itu tidak heran informasi pertama kepada publik tentang bom Kuningan ditemukan di Twitter. Bahkan CNN kalah cepat dengan Twitter dalam memberitakan konflik pemilu di Iran.

Berbagai wacana perlawanan atas ketidakadilan ditemukan di Facebook seperti misalnya dukungan kepada Bibit-Chandra yang menembus angka satu juta pendukung. Media mainstream memantau social media untuk tidak jarang dikutip dan dijadikan berita pada medianya.

Ketika kasus Prita, terjadi kehebohan di social media melebihi kehebohan kasus manapun sebelumnya yang disusul dengan pemberitaan di media mainstream. Kedua media ini saling menguatkan, ketika media mainstream memberitakan perkembangan kasusnya maka di social media ramai membahasnya. Sebaliknya media mainstream juga memantau perkembangan pendukung Prita di social media.

Kenapa kasus Prita lebih menarik perhatian komunitas online adalah karena kasusnya berkenaan dengan aktifitas yang dilakukan oleh komunitas online sehari hari, yaitu email. Komunitas online merasa terancam dengan apa yang terjadi pada Prita bisa terjadi pula pada mereka. Inilah sebab pembahasan Prita di social media lebih intens dibanding kasus yang lain. Prita menjadi simbol perlawanan mereka.

Lalu apa yang akan terjadi pada kasus kasus ketidakadilan yang lain? Akankah kasus lain mendapat perhatian yang sama seperti kasus Prita? Keberhasilan target wacana akan menjadi preseden baik dan melatih bagaimana mengkonkretkan rasa solidaritas.

Hasil konkret rupiah yang berhasil terkumpul dari berbagai lapisan dan berbagai bentuk (koin, uang kertas, check dan paypal) telah mencapai 500 juta lebih. Ini akan menguatkan rasa percaya diri masyarakat bahwa kita bisa mengubah wacana menjadi hal yang konkret. Walau beberapa sumbangan dalam jumlah besar baru muncul setelah gerakan koin terlihat lebih konkret.

Skeptisisme yang pernah muncul sebelumnya tentang berbagai gerakan berbasis solidaritas atau nasionalisme seperti gerakan #IndonesiaUnite akan terkikis dan semakin mengarah pada kemampuan melakukan gerakan yang menghasilkan sesuatu yang lebih konkret. Semua gerakan itu akan menjadi ajang latihan konkretisasi wacana yang merupakan pemberdayaan masyarakat.

Masyarakat yang lebih berdaya adalah jawaban dari apa yang dituntut pada ketidakadilan ditengah masyarakat kita dan bangsa kita. Maju terus Indonesia.

8 Komentar

Filed under sosial

Klaim Tari Pendet: Inferioritas Malaysia

Beberapa postingan dalam blog saya boleh dibilang “abadi”. Artinya tidak pernah surut pembaca (dilihat dari trafic stat) dan komentar, selalu saja ada yang memberikan komentar. Diantaranya adalah Fenomena Kangen Band dan Prisa The Cute Devil.

Selain kategori musik, yang juga termasuk “abadi” adalah postingan tentang Malaysia. Biasanya postingan tentang Malaysia kembali ramai dicari dan dikomentari pada saat situasi hubungan antara Indonesia dan Malaysia kembali memanas. Sekarang ini terjadi lagi.

Media gencar memberitakan perihal tari Pendet Bali yang diklaim oleh Malaysia. Seperti biasa berita ini mengundang reaksi yang keras dari masyarakat Indonesia. Saya sendiri juga merasa geram untuk yang kesekian kalinya setelah Angklung, Reog Ponorogo, Wayang Kulit dan banyak lagi yang lain yang tidak sempat saya tulis di blog.

Wayang dan Keris sudah menjadi World Heritage yang diakui dari Indonesia tapi toh tetap saja tidak menyurutkan aksi Malaysia. Bahkan sekarang Tari Pedet yang sudah sangat terkenal berasal dari Bali itu pun digasaknya. Saya hanya bisa tersenyum kecut dan geleng geleng kepala.

Sebelum saya ikut komentar keras seperti pada postingan saya sebelumnya tentang Malaysia, saya ingin lebih jernih kali ini. Melihat tingkah pemerintah Malaysia yang bebal menurut saya sudah tidak masuk akal. Apakah mereka terlalu bodoh mengklaim tari Pendet yang sudah terkenal dari Bali sebagai budaya mereka? Pasti ada penjelasanya.

Radhar Panda Dahana

Sebagai pembanding saya ingin tahu bagaimana reaksi sementara sebagian budayawan tentang hal ini maka saya coba kutip Republika, Rabu (19/8), yang memuat pendapat dari Radhar Panca Dahana tentang klaim Malaysia atas tari Pendet Bali.

Ia menilai kecolongan budaya tersebut sebenarnya sebuah cermin atau refleksi. Ia menilai kita terluka dan malu, karena kita sadar sebagai pemilik kebudayaan itu kita tidak memperhatikannya. “Selama ini kebudayaan dipinggirkan, pemerintah dan masyarakat tak lagi peduli,” ujarnya.

Untuk dapat menjadi jernih marilah kita kesampingkan terlebih dahulu kemarahan terhadap Malaysia. Mas Radhar memposisikan kita sebagai bangsa yang terluka dan malu. Saya tidak ingin berada dalam posisi itu dalam melihat masalah ini. Saya ingin berada diluar untuk dapat melihat dari perspektif yang berbeda, bukan dari perspektif orang yang marah. Apakah benar ini sebuah kecolongan? Apakah kita perlu merasa terluka dan malu?

“Malaysia tahu mereka kekurangan budaya, mereka pintar melihat kebudayaan negara tetangganya, dan mereka menghargai budaya untuk mencari keuntungan, sedangkan pemerintah kita tidak peduli. Hanya peduli pada olahraga dan program lainnya,” katanya.

Mencoba memahami kutipan dari Republika itu: dikatakan Malaysia pintar menghargai kebudayaan untuk mencari keuntungan sementara kita tidak, kita lebih perduli pada olahraga dan program lainnya. Lantas kita yang seharusnya lebih menghargai kebudayaan untuk mencari keuntungan komersil.

Apakah itu yang disebut dengan menghargai kebudayaan? Jika kita sudah menggunakan kebudayaan untuk mencari keuntungan komersil maka itu sudah disebut menghargai kebudayaan? Bukankah selama ini itu yang sudah dan sedang terjadi di Bali, bahkan perkembangannya sudah mengarah ke arah komersialisasi kebudayaan yang mulai eksesif dan dikhawatirkan oleh banyak pihak akan merubah Bali sama sekali. Sebut saja pembangunan properti untuk keperluan pariwisata yang kurang mengindahkan aspek harmonisasi landscape kebudayaan setempat.

Kalau yang dimaksud dengan menghargai kebudayaan adalah menggunakannya untuk kepentingan komersil terutama pariwisata seperti yang dilakukan Malaysia maka menurut hemat saya, kita bukannya tidak menghargai, bahkan kita sudah “terlalu” menghargai.

Menurut saya menghargai sesuatu adalah pertama tama dengan pengakuan, penggunaan manfaatnya dan pelestariannya. Pengakuan akan menjadi identitas dan bila diterjemahkan dalam bahasa teknis adalah dengan pendataan dan peresmian yang minim dilakukan pada bangsa kita. Penggunaan manfaat seperti pariwisata untuk manfaat ekonomi, kesenian untuk manfaat hiburan, teknologi untuk manfaat kesejahteraan dan bahkan kebudayaan bisa digunakan untuk manfaat politik.

Tapi seluruh penggunaan manfaat itu tidak boleh merusak pelestarian kebudayaan itu sendiri. Jadi kebudayaan juga harus dilestarikan, dijaga orisinalitasnya, dirawat eksistensinya di masyarakat, diberikan ruang untuk hidup. Ketiga aspek penghargaan ini saling terkait satu sama lain. Mereka bisa terdapat dalam sebuah sikap. Jika digunakan maka bisa terjadi sekaligus pelestarian. Tapi bisa juga hanya salah satu saja dari aspek diatas, misalnya hanya memanfaatkan saja tanpa mau melestrasikan, atau hanya mengakui saja tanpa mau menggunakan manfaatnya. Untuk dapat disebut menghargai menurut hemat saya harus mengandung tiga aspek diatas.

Untuk itu, kata Radhar, kedepannya agar Indonesia tidak kecolongan lagi, pemerintah harus perhatikan kebudayaan itu. “Kita majukan budaya kita supaya kita ada di depan, munculkan budaya kita dalam upacara-upacara, acara-acara, jangan lagu-lagu masa kini yang dinyanyikan oleh Presiden kita,” tandasnya.

Apa yang dikutip Republika diatas adalah suatu bentuk usaha penggunaan manfaat sebagai upaya pengakuan dan pelestarian yang diharapkan mampu mencegah kita dari “kecolongan” lagi. Tapi harapan itu kelihatannya masih sumir. Kenapa demikian? Untuk tahu jawabannya kita mesti pahami duduk persoalannya.

Pertama perlu dipahami apa yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia. Malaysia menggunakan kebudayaan Indonesia untuk mengambil manfaat ekonomi pariwisata. Kemudian masyarakat Indonesia lebih menyuarakan keberatannya atas pengakuan. Ini dua hal yang berbeda. Penggunaan manfaat tidak otomatis menjadi pengakuan jika tidak disertai suatu pernyataan resmi seperti mengusahakan hak paten misalnya. Pernahkah kita dengar pernyataan resmi dari pemerintah Malaysia tentang klaim Tari Pendet ini?

Kata klaim pada tari Pendet sejauh ini saya lihat hanya ada di media, entahlah untuk tujuan apa media melakukan itu tapi masyarakat menjadi percaya bahwa Malaysia melakukan klaim. Lantas mulai muncul suara yang mengatakan semua ini akibat kita yang kurang menghargai kebudayaan kita sendiri.

Lantas kalau kita sudah menghargai kebudayaan kita maka apakah Malaysia tidak akan melakukan itu lagi? Saya skeptis. Saya kira Malaysia hanya mau dan bisa menggunakan manfaatnya, saya kira juga mereka tidak akan mampu melestarikan apalagi mengakuinya. Untuk melestarikan itu berat, kebudayaan itu harus hidup dalam epistimologi masyarakatnya. Ketika kebudayaan itu lestari dalam sebuah masyarakat maka akan memperoleh pengakuan.

Sekarang siapa yang mau percaya tari Pendet yang sarat dengan ornamen Bali itu adalah kebudayaan Malaysia? Hanya orang bodoh yang akan percaya.

Lalu kenapa Malaysia jalan terus? Seperti yang saya katakan diatas, Malaysia bukan mau mengklaim, karena memang tidak bisa, tapi hanya mampu menggunakan manfaatnya. Kalau sudah begini saya rasa kita tidak perlu merasa kecolongan. Pakailah sesukamu. Tapi kita perlu jengah, kita yang melestarikan tapi orang lain yang mengambil manfaat. Sebenarnya tidak keberatan juga, cuma karena Malaysia ini tengil jadi banyak yang marah. Kenapa tengil?

Menjadi menarik melihat kenapa Malaysia begitu. Semua ini akibat dari konsep Malaysia is a Truly Asia. Malaysia terdiri dari mayoritas tiga bangsa antara lain bangsa Melayu, bangsa Cina dan bangsa India. Jadi tidak ada bangsa Malaysia. Mereka merasa, atau pemerintahnya merasa bahwa Malaysia adalah miniatur dari berbagai bangsa bangsa di Asia karena itu berhak menyandang “gelar” Truly Asia. Dalam usahanya mewujudkan Truly Asia mereka mengumpulkan produk kebudayaan dari berbagai bangsa bangsa di Asia ini sebagai mosaik.

Jadi sebaik apapun kita mampu menghargai dengan melestarikan kebudayaan kita sendiri, itu tidak akan menghentikan usaha Malaysia dalam “mencuri” kebudayaan Indonesia. Mereka sedang membangun identitas berdasarkan konsep Truly Asia. Apakah ini konsep yang brilian? Saya rasa ini konsep yang kontra produktif buat Malaysia. Alih alih mendapat pengakuan tapi justru menuai kontroversi yang bermuara pada citra negatif.

Pencitraan Truly Asia itu sendiri hanya dipermukaan yang bersifat artificial. Sementara di dalam Malaysia sendiri tidak pernah terjadi pembauran kebudayaan antara tiga bangsa besar tadi. Konsep Truly Asia muncul sebagai akibat dari sindrom inferioritas yang dalam beberapa kasus dapat menjadi sebaliknya.

Saya ingin ambil contoh dalam sejarah. Alexander The Great adalah pahlawan bangsa Yunani yang diakui oleh dunia. Kekaisaranya membentang dari Eropa hingga Asia. Melalui Alexander kebudayaan Yunani memberi pengaruh yang kuat pada berbagai kebudayaan besar dunia.

Tapi tahukah bahwa Alexander mengalami kompleks inferioritas dalam dirinya? Kala itu orang Yunani yang dianggap sebenar benarnya adalah orang Athena. Sementara Alexander bukan orang Athena tapi orang Macedonia yang lahir dan besar di kota kecil bernama Pella di pinggiran Yunani.

Selama masa kecil dan remajanya Alexander terobsesi untuk menjadi orang Yunani yang sebenar benarnya dengan membaca buku buku karya penulis Athena (Illiad karya Homerus), berguru pada cendikiawan Athena (Aristoteles) dan bermimpi menjadi pahlawan Athena (Achilles).

Rasa bangga yang tak terkira ketika Alexander membebaskan Athena dari tekanan Sparta membuat inferioritasnya berbalik menjadi superioritas untuk menaklukan Eropa mulai Persia hingga Asia barat (India). Pembuktian bahwa dirinya mewarisi kebudayaan Yunani yang Agung.

Psikologi inferioritas yang kurang lebih mirip terjadi pada pemerintah Malaysia. Ingin menjadi lebih besar dari kebudayaan Indonesia dengan menggunakan label Truly Asia. Untuk menjadi besar butuh figur besar seperti Alexander pada bangsa Yunani, atau figur seperti Bung Karno pada bangsa Indonesia. Malaysia tak memiliki itu dan Truly Asia hanya akan menjadi label. Kasihan. Kalau mereka bijak dan berjiwa besar, Truly Asia tak usah dilanjutkan tapi diubah, seperti apa? Bukan urusan saya.

Kita tak perlu malu, terluka atau merasa kecolongan. Sedekahkan saja. Namun demikian penghargaan pada kebudayaan kita harus tetap ditingkatkan, terutama pada pelestarian. Hidupkan kesenian, perdalam budi pekerti, kuasai teknologi dan kita akan hidup dalam kebudayaan yang luhur.

Update 24 Agustus 2009

Sudah selesai, mereka menyesal katanya, setelah ngeles bilang itu kerjaan swasta.

Kata mas KuncoroSo, let’s simply forgive it and forget it. See you next theft, neighbour 🙂

120 Komentar

Filed under budaya

#merdeka

25 Komentar

Filed under Uncategorized

Public Enemies

Adegan awal dari film ini memperlihatkan barisan berseragam tahanan yang mengingatkan saya pada seragam gerombolan Si Berat di komik Donal Bebek. Belang belang hitam putih. Berbagai resensi film ini menceritakan tentang kisah perampok legendaris John Dillinger yang menjadi musuh nomor satu di Amerika Serikat pada tahun 30an.

Public Enemies The Movie

John Dillinger
Ini film diangkat dari kisah nyata. Profil John Dillinger ini memang luar biasa. Masa itu adalah masa krisis ekonomi berkepanjangan di AS. Headline di koran koran terkemuka didominasi oleh berita kebangkrutan, pengangguran kian bertambah dan kejahatan semakin merajalela. Pemerintah kian dituntut segera mengembalikan keadaan.

Johnny Depp as Dillinger

Pada situasi seperti itulah muncul seorang penjahat perampok bank yang pada awalnya menjadi headline karena aksinya membobol penjara untuk membebaskan teman teman gangnya. Aksi perampokan yang mereka lakukan dikemas dengan sedemikian rupa hingga mereka mendapat simpati publik.

Johnny Depp in action

Masyarakat yang tertekan oleh situasi ekonomi yang buruk butuh seorang “pahlawan”. Dillinger kerap menjadi headline berita karena merampok bank dengan pesan bahwa mereka tidak merampok uang nasabah tapi merampok uang bank… apa bedanya? Tapi itulah waktu itu. Masyarakat terpesona dan menganggap Dillinger sebagai Robin Hood. Dillinger dikenal dengan julukan The Jackrabbit karena aksinya dalam merampok bank yang loncat dari satu meja teller/kasir ke meja lainnya pada saat merampok.

John Dillinger

Ini tentu sangat meresahkan pemerintah AS pada waktu itu. Apalagi berkali kali pemerintah AS di permalukan oleh keberhasilan Dillinger yang berkali kali ditangkap tapi berkali kali pula dapat meloloskan diri dan melanjutkan aksi perampokkan bank yang total jumlahnya mencapai puluhan bank di seluruh AS.

Dillinger juga menciptakan trend dan modus baru dalam perampokan bank. Dillinger adalah perampok yang lari dari satu negara bagian ke negara bagian lain untuk merampok sehingga menyulitkan polisi negara bagian yang memburunya karena pada waktu itu koordinasi antar polisi negara bagian belum menemukan mekanismenya untuk menangkap penjahat lintas batas negara bagian.

Kalau anda nonton film ini maka akan terlihat bagaimana polisi jaman dulu di AS itu lugu, culun dan cupu. Dillinger dengan mudah mengelabui mereka semua dan ketika tertangkappun masih bisa mengejek melalui media yang kesempatan wawancaranya bagaikan konferensi pers dan diijinkan sendiri oleh polisi.

Federal Bureau of Investigation (FBI)
Sebelum bernama FBI badan ini bernama Bureau of Investigation dan hanya terdiri dari tim kecil detektif. John Edgar Hoover sang direktur yang setelah keberhasilannya menangkap Dillinger lantas mengubah nama Bureau of Investigation menjadi Federal Bureau of Investigation karena peran dan kekuasaannya diperluas untuk menangani kejahatan lintas negara bagian.

Johnny Depp and Marion Cotillard

Berawal dari pengalamannya memburu, menangkap dan membunuh perampok sekelas Dillinger, FBI berkembang menjadi sebuah badan dengan kemampuan intelijen yang canggih dan ilmiah. FBI memiliki database sidik jari paling lengkap dan berbagai data profil para penjahat.

Marion Cotillard

Marion Cotillard

Penonton film ini biasanya lebih terpesona pada aksi sang perampok legendaris, apalagi ada bumbu kisah cinta antara Dillinger dan Billie Frechette yang cantik (diperankan oleh Marion Cotillard). Kalau nonton (lagi) film ini maka sebenarnya bisa disimak dari sisi sejarah bagaimana FBI dimasa masa awal dan membandingkannya dengan FBI sekarang yang sudah sangat canggih dan menjadi andalan AS dalam memerangi kejahatan dan melindungi warganya.

Kalau belum nonton, bagaimana akhir kisah Dillinger dan FBI? Apakah Dillinger mati tertembak seperti Dr Azhari atau tertangkap dan dihukum mati? Lebih baik nonton filmnya…

Noordin M Top dan Densus 88

Malam ini di Twitter yang sedang terseok karena serangan DDoS saya masih sempat membaca tweet Pak Nukman tentang baku tembak antara Densus 88 dan gerombolan teroris yang diduga diantaranya terdapat Noordin M Top, penjahat teroris yang sangat diburu itu.

Densus 88 sebelumnya telah menembak mati Dr Azahari rekan Noordin M Top yang lolos. Malam ini sedang terjadi pengepungan, sudah 4 orang tertangkap tapi identitas Noordin M Top belum di konfirmasi Densus 88.

Akankah Densus 88 dapat berkembang menjadi seperti FBI? Besar harapan kita tentunya tidak saja Densus 88 ini bisa menangkap Noordin M Top kelak tapi juga bisa berkembang menjadi sebuah badan yang punya kemampuan seperti FBI.

Apa yang dibutuhkan Densus 88 untuk bisa seperti itu? Sebagai perbandingan FBI punya pemimpin seperti John Edgar Hoover yang boleh dikatakan memimpin FBI seumur hidupnya sejak 1935 hingga 1972. Hoover memimpin FBI hingga 6 masa jabatan Presiden AS. Setelah Hoover meninggal masa jabatan direktur FBI dibatasi hingga maksimal 10 tahun saja. Mungkin Densus 88 tidak harus begitu tapi leadership menjadi isu penting. Semoga Densus 88 bisa menangkap Noordin M Top malam ini dan menjadi tonggak awal keberhasilan yang lebih besar dikemudian hari… seperti FBI.

7 Komentar

Filed under sinema

Teori Konspirasi Bom Marriot 2

Pagi 17 Juli, jam sembilanan saya terbangun oleh telephone dari sepupu di Bali yang menanyakan perihal bom di hotel Marriot Kuningan Jakarta. Saya kaget dan langsung online dan di twitter telah ramai tweet tentang bom ini.

Sejak awal saya bertanya-tanya siapa pelaku pemboman kali ini. Hubungan AS dan Timur Tengah tidak sedang memanas, bahkan cenderung lebih baik sejak Obama terpilih menjadi Presiden.

Hotel J.W Marriot adalah hotel yang penjagaan keamanannya sangat ketat karena sudah pernah dibom sebelumnya. Perlu strategi dan perencanaan yang sangat matang untuk meledakan bom kembali disana.

Noordin M Top adalah teroris yang diduga menjadi dalang dari pemboman ini oleh beberapa pengamat seperti Sidney Jones. Opini Sidney Jones ini akan menggiring spekulasi kearah dalangnya adalah M Top semata dan tidak terkait jaringan sebelumnya yaitu JI.

Pelaku teknis bom bunuh diri dilapangan memiliki ciri yang sama dengan jaringan M Top. Tapi apakah ini murni design dari M Top sendiri? Dengan melihat bagaimana kondisi jaringan M Top sekarang yang sudah tidak seperti dulu lagi ketika Dr Azhari dan Imam Samudra masih hidup, saya meragukan mereka sendiri bisa melakukan semua ini.

Faktor faktor seperti tingkat kesulitan yang tinggi untuk melakukan pemboman kembali di Marriot, kondisi jaringan M Top yang sudah tidak seperti dulu lagi, kondisi politik di Timur Tengah yang tidak sedang memanas, membuat saya mensinyalir bahwa pelakunya tidak dalam format seperti yang dituduhkan oleh Sidney Jones.

Lalu apa? Melihat timing dari pemboman ini patut dapat diduga motifnya adalah politik. Cuma saja mesti hati hati untuk tidak terplot oleh pidato SBY beberapa jam setelah bom.

Banyak pihak yang sangat berkepentingan dengan siapa yang akan jadi Presiden RI nanti. Lawan politik SBY tentu saja berkepentingan tapi apakah mereka pelaku pemboman? Sebagian orang melihat SBY melalui pidatonya seperti ingin menyiratkan kearah situ.

Siapa Presiden RI dikemudian hari akan menentukan nasib kepentingan kepentingan banyak pihak di Indonesia. Indonesia adalah negara yang strategis tidak saja dalam kawasan Asia tapi juga dunia.

Sejak kampanye pilpres isu kepentingan kepentingan ini sudah menyeruak. Mulai dari isu neoliberal yang didaulat sebagai wakil kepentingan asing di Indonesia. Tidak berlebihan juga kalau saya katakan asing sangatlah ingin presiden terpilih nanti dapat mengakomodasi kepentingan mereka. Entah kepentingan ekonomi maupun politik.

Konstalasi kekuatan capres terbagi dua: SBY-Boediono lawan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto. Jika SBY mengusung visi yang lebih pro investasi asing maka lawan politiknya pasti akan sebaliknya. Para investor asing tentu tak mau bukan SBY yang terpilih. Tapi mereka tidak mau ikut campur urusan politik dalam negeri seperti mencurangi pilpres misalnya. Mereka juga mau melihat Indonesia menjadi negara yang demokratis.

Melihat perkembangan perhitungan suara yang mengarah kepada kemenangan SBY maka mereka bisa berbesar hati. Tapi surut lagi setelah melihat gelagat bahwa hasil pilpres ini bisa di gugat melalu MK jika cukup bukti bahwa pilpres tidak beres. Bukti yang paling krusial untuk dapat menggugat pilpres adalah DPT yang kacau balau. Jika bukti bukti itu dapat meyakinkan MK maka pilpres dapat diangap tidak sah dan harus diulang. Kacau balau kalau begini.

Melakukan intervensi seperti di Irak/Iran akan merusak Indonesia sebagai negara yang sudah mengarah ke demokrasi. Usaha yang dilakukan oleh Mega-Prabowo untuk menggugat pilpres melalui MK sangat mengkhawatirkan pihak yang ingin melihat SBY-Boediono segera dilantik.

Melihat bagaimana kondisi sosial-politik di Indonesia dimana keadaan keamanan yang pernah cacat oleh peristiwa pemboman teroris sangat mungkin dilakukan pengalihan perhatian melalui operasi intelijen dengan modus terorisme.

Operasi intelijen dengan modus terorisme ini akan memberikan dampak politik yang sempurna antara lain:

  • Tidak memiliki dampak merusak sendi sendi demokrasi Indonesia secara langsung karena masyarakat percaya yang salah adalah teroris.
  • Proses gugatan pilpres ke MK oleh Mega-Prabowo menjadi terganggu karena Prabowo memiliki profil masa lalu yang dapat di mis-identifikasi sebagai pelaku pemboman.

Seperti layaknya operasi intelijen, pelaku selalu dari komunitas lokal yang gampang diperalat. Golongan garis keras yang fanatik sangat mudah diperalat untuk kepentingan ini. MOSAD melakukannya di Palestina terhadap HAMAS yang dikemudian hari berbalik merepotkan mereka. CIA melakukannya di Afganistan melalui Osama bin Laden untuk memerangi Rusia yang dikemudian hari juga berbalik menghantam Amerika.

Sementara itu para pengamat Barat akan terus memberikan pencitraan dimedia bahwa ini murni terorisme dengan kondisi yang sangat spesifik dan cenderung dipaksakan. Ditambah lagi CIA sekarang sedang membentuk sebuah komisi yang akan membantu mengungkap siapa pelaku peledakan bom aneh kali ini.

Bisa ditebak hasilnya siapa…

Ini juga bisa menjadi bukti kenapa M Top tidak tertangkap. Karena dibutuhkan sosok seperti M Top pada situasi yang seperti ini. Konsep jangan dilumpuhkan dan cukup dilemahkan saja sudah teruji sejak jaman VOC dimana oara Ketju merajalela di kerajaan Mataram.

Cuma saja hasilnya tidak pernah sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya…

31 Komentar

Filed under politik