The Raid

foto diambil dari facebooknya yayan ruhiat
Film ini menuai banyak pujian, awal-awal karena sederet penghargaan dari dunia International:

1. Winner (Best Midnight Madness Film – People’s Choice Award) Toronto Film Festival (2011).
2. Official Selection Sundance Film Festival (2012).
3. Official Selection SXSW Film Festival (2012).
4. Winner (Best Action Film) Baliwood (2011).
5. Winner (Best Action Film) INAFF 2011 (Indonesia International Fantastic Film Festival).
6. Official Selection SITGES 2011 (International Fantastic Film Festival).
7. Official Selection Busan International Film Festival 2011.
8. Official Selection Fright Festival 2012.
9. Winner (Best Film – Dublin Film Critics) Dublin Film Festival 2012.
10. Official Selection Glasgow Film Festival 2012.
11. Official Selection Moma ND/NF Film Festival 2012.

Sumber: Yoga Efendi

Lalu pujian dari kesaksian orang orang yang sudah pernah menonton film ini ada di mana mana, di IMDB, Twitter dan Facebook. Itu bukan hanya orang Indonesia loh, kebanyak dari luar negeri karena film ini juga ditayangkan di luar negeri setelah dibeli oleh Sony Picture. Ok saya rasa kalo soal reputasi sudah cukup, tidak usah lebay… mari kita masuk ke review filmnya.

Pertama-tama yang bisa saya sampaikan film ini hanya untuk orang dewasa, hanya orang tua bodoh yang membawa putra-putrinya ikut nonton. Semua adegan action dipertontonkan secara vulgar dan penuh darah, dari gerakan memukul, menendang, membacok, menggorok, menusuk, membanting lawan ke property yang bukan terbuat dari styrofoam dan seterusnya…

Film ini plotnya datar, mungkin sengaja gak dibikin ribet supaya penonton gak perlu susah berpikir dan bisa fokus menikmati actionnya. Saya rasa memang apa yang dijual oleh film ini adalah action silatnya dimana Iko Uwais dan Yayan Ruhiat sebagai koreografer berhasil membuat film ini tidak kalah dengan film-film Kungfu Hongkong atau bahkan film Kungfu yang sudah ada sentuhan Hollywood seperti Crouching Tiger Hidden Dragon. Kalo film-filmnya Stevan Seagal, Jean-Claude Van Damme, Chuck Norris atau Michael Dudikoff lewat lah sama The Raid.

Sutradara Gareth Evans berhasil memaksimalkan kekuatan filmnya pada action hingga menutupi unsur lain dalam film yang sebenarnya kurang bagus seperti dari sisi akting dan dialog. Bahkan dialognya menurut saya yang paling kurang, sebagai contoh diawal film ada adegan Rama sedang sholat kemudian selesai sholat Rama menghampiri istrinya yang sedang hamil tua di tempat tidur hendak pamit berangkat ke misi berbahaya. Selesai ngobrol pamitan Rama bilang “Aku cinta kamu”, lalu istrinya menjawab, “Aku juga cinta kamu”… halah… gak ada dialog kaya gitu di Indonesia, itu hanya ada di Barat, sepertinya memang dialognya terjemahan bahasa Inggris. Pinternya Gareth Evants tidak membuat banyak adegan dialog drama dalam filmnya.

Kemudian dari sisi akting hanya aktor senior Ray Sahetapy yang berhasil mentransformasi kekuatan aktingnya untuk menghidupkan karakter perannya, yang lain butuh action berdarah-darah. Padahal Ray hanya kebagian scene sedikit. Untuk yang muda-muda saya suka komandan pasukan, Joe Taslim dan tukang jagal dengan logat Ambon, Godfred Orindeod. Iko dan Yayan keliatannya lebih mengandalkan aksi laganya untuk membentuk karakter yang diperankan.

Film ini ada sekuelnya, judulnya Berandal, semoga apa yang kurang di film ini bisa diperbaiki di sekuelnya. Selain aksi laga film ini mudah ditebak jalan ceritanya. Jika mau lebih bagus lagi ada baiknya aksi yang dijual tidak dimonopoli oleh aksi silat Iko dkk, tapi bisa diimbangi dengan plot atau cerita seperti film Speed.

Tinggalkan komentar

Filed under sinema

Tinggalkan komentar