Ahimsa Untuk Indonesia

Mahatma GandhiPada sebuah diskusi tentang ajaran Ahimsa dari Gandhi banyak yang bisa saya peroleh sebagai bahan renungan. Tapi hanya untuk direnungkan. Setelah direnungkan sering kali menyisakan pertanyaan yang jawabannya harus saya cari sendiri.

Terutama tentang ajaran Ahimsa ini. Pada diskusi tersebut dipaparkan bagaimana Gandhi menggunakan Ahimsa sebagai ajaran sikap anti kekerasan yang berhasil mengantarkan India memperoleh kemerdekaannya.

Bukan sejarahnya yang ingin saya bahas. Tapi ajaran Ahimsa itu sendiri yang dalam diskusi itu ingin diangkat sebagai suatu sikap yang sekarang ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi berbagai macam situasi dalam masyarakat yang dinilai sudah kehilangan sentuhan nurani.

Kekerasan masal bukan barang biasa lagi. Maling digebuk rame-rame. Pedagang kaki-lima digusur dengan paksa. Gembel dan PSK dikejar-kejar petugas tramtib dengan cara kasar. Demonstran dihalau dengan pentungan dan peluru. Apalagi? cari sendiri, banyak disiarkan di televisi.

Itu semua adalah kekerasan yang oleh Gandhi pernah disikapi dengan Ahimsa hingga berhasil mendapatkan hasil yang sangat elegan yaitu kesepakatan dan perdamaian bahkan kemerdekaan.

Sekarang bagaimana supaya cara yang sama bisa kita pakai untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia yang sangat membutuhkan tidak hanya perdamaian tapi juga kesepakatan dan solusi dari masalah masalah mereka.

Silahkan merenung… saya juga mau merenung.

… *sedang merenung*

Sudah, cukup, jangan terlalu lama merenungnya nanti malah melamun yang tidak tidak. Kalau kita lihat bagaimana Gandhi bersikap maka itu ada jejaknya secara spiritual. Tapi juga bisa dilacak dari analisa psikologi politik (waduh mulai berat nih).

Kalau dari sudut pandang spiritual memang Ahimsa merupakan bagian penting dari agama Hinduisme, Jainisme, dan Buddhisme. Konsep ini pertama kali digunakan dalam sebuah kitab Hindu yang disebut Upanishad.

Sungguhpun demikian Ahimsa tidaklah eksklusif untuk agama Hindu. Ahimsa bisa diterapkan dan kompatibel dengan berbagai macam agama karena ajaran yang terdapat didalamnya memiliki nilai yang universal (antikekerasan).

Jika seseorang lebih memilih cara-cara yang tidak mengandung kekerasan dalam bersikap maka secara spiritual sesungguhya Ahimsa telah dihayati dengan baik. Jika semua orang sukses berahimsa maka dijamin tidak ada lagi kekerasan.

Tapi apakah itu yang terjadi ketika Gandhi menggiring rakyat India menempuh jarak ribuan kilometer untuk keluar dari wilayah kekuasan kerajaan Inggris guna membuat garam sebagai bentuk protes atas kebijakan politik garam pemerintah Inggris?

Saya ragu akan hal itu. Apakah semua rakyat India pada saat itu sukses berahimsa? Apakah itu sukses rakyat India atau sukses Gandhi semata. Rakyat India juga akrab dengan kekerasan. Pertikaian diantara mereka melahirkan banyak peperangan. Entah itu konflik agama, konflik antar suku, konflik sosial ataupun konflik kasta.

Sebagian dari konflik konflik itu bisa diredam oleh Gandhi, tapi sebagian lagi tidak dan puncaknya adalah berpisahnya sebagian wilayah India menjadi Pakistan (kalau ini dianggap kegagalan karena sesungguhnya Gandhi merestui kedua duanya).

Bagaimana Gandhi berhasil mengajak rakyat India berahimsa guna melawan penjajah Inggris tapi gagal dalam mengajak rakyat India berahimsa untuk tidak saling melakukan kekerasan diantara mereka sendiri.

Apakah sukses itu berasal dari ajaran Ahimsa atau dari pribadi Gandhi sendiri? Untuk bisa mengurai bagaimana hubungan diantara keduanya harus dianalisa dari berbagai aspek: Gandhi dan Ahimsa kemudian spiritualitas dan politik.

Gandhi dan Ahimsa
Pada perlawanan Gandhi terhadap penjajah Inggris kita lihat bagaimana Gandhi menggunakan Ahimsa sebagai metode untuk menggerakan perlawanan rakyat.

Rakyat India melihat simbol perlawanan rakyat pada sosok Gandhi dan bukan pada Ahimsa. Ahimsa disini sebagai metode. Di Indonesia yang berperan sebagai simbol adalah Bung Karno dan metodenya adalah perang gerilya.

Tanpa simbol metode tidak jalan. Tanpa metode simbol tak berguna. Simbol ada pada hati dan metode ada pada pikiran. Karena itu simbol tak bisa dibunuh tapi metode bisa dipatahkan. Selama simbol ada metode bisa dibangun ulang. Jika simbol tak ada maka metode rentan kerusakan dan ringkih, kecuali metode yang memiliki ruh/nyawa sehingga dia bisa memelihara dirinya sendiri atau jika perlu bisa bermutasi kedalam bentuk metode yang lain. Pada metode yang memiliki ruh/nyawa bisa melahirkan simbol dengan sendirinya.

Uraiannya agak abstrak yah? Baiklah saya akan menguraikannya dengan contoh contoh. Ketika Gandhi berhasil menggunakan Ahimsa sebagai metode, beliau tampil sebagai simbol yang efektif. Metode Ahimsa mengandung spiritualitas sebagai nyawa. Spiritualitas inilah yang memelihara Ahimsa sehingga menjadi metode yang efektif.

Ketika perang gerilya berkobar di Indonesia Bung Karno tampil sebagai simbol yang efektif. Metode perang gerilya berhasil menghalau penjajah Belanda.

Walaupun Gandhi dipandang lebih kepada tokoh kemanusiaan dan bukan tokoh politik seperti halnya Bung Karno tapi apa yang dilakukan Gandhi sebenarnya praktis pada ranah politik. Karena itu sah sah saja membandingkan mereka.

Yang ingin saya sampaikan adalah sebuah metode mengandung prinsip dan memiliki nyawa sebagai pemelihara keberlangsungan dan efektifitas metode tersebut.

Banyak tokoh pejuang kemanusian dunia yang terinspirasi oleh Gandhi dengan mengambil peran sebagai simbol pada metode Ahimsa (nonviolence).

Nyawa yang terkandung didalam Ahimsa adalah spiritualitas yang tentunya tidak dibingkai hanya oleh agama tertentu. Spiritualitas itu bersifat lintas agama. Karena itu bisa dipakai oleh Nelson Mandela, Martin Luther King dan Aung San Suu Kyi untuk memperjuangkan aspirasi mereka.

Jadi kata kuncinya adalah simbol, metode dan nyawa. Kita ingin mengambil Ahimsa sebagai metode. Sekarang kita butuh simbol. Siapa yang masih bisa dipakai sebagai simbol?

Mana harusnya lebih dulu ada? Simbol atau metode? Atau sebaliknya? Ini seperti telur dan ayam. Apakah Gandhi lebih dulu ada sebelum Ahimsa? Tentu tidak karena Ahimsa sudah ada sebelum Gandhi lahir. Tapi Ahimsa baru efektif setelah ditranformasi oleh Gandhi.

Menurut hemat saya sekarang ini sudah tidak jadi soal lagi siapa/apa yang lebih dulu ada. Kalau sudah ada apakah bisa efektif. Bagaimana simbol yang efektif? Bagaimana metode yang efektif?

Spiritualitas
Nyawa yang terkandung dalam Ahimsa adalah spiritualitas. Dibanding masyarakat India, bangsa Indonesia tidak kalah dalam spiritualitasnya. Dalam masyarakat Jawa kita kenal ada pepatah “Ngono yo ngono ning ojo ngono”. Di Bali kita kenal “De ngaden awak bisa depin anake ngadanin”. Pepatah pepatah ini ataupun karya sastra lainnya mengandung makna spiritual yang bersifat sangat toleran.

Bahkan Nyawa (spritualitas) yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia memiliki potensi yang lebih baik dalam mengefektifkan Ahimsa ketimbang di India sendiri.

Bagaimana bisa begitu? Bukankah kekerasan di Indonesia terjadi dimana mana? Memang tapi begitu juga di India dan kekerasan di India lebih bersifat fundamental ketimbang di Indonesia.

Kita bisa lihat bagaimana penganut agama Islam dan Hindu tidak akur di India dan bagaimana masih bersitegangnya problem sosial akibat tingkatan kasta di masyarakat India.

Kalau di Indonesia kita bisa lihat bagaimana penganut agama Islam dan Hindu saling menyayangi. Masyarakat Hindu di Bali memberi sebutan “Nyame Selam” (Saudaraku yang Muslim) bagi penganut agama Islam di Bali. Adapun konflik yang sering terdengar di Bali adalah konflik antar partai dan itupun bukan perkara ideologi tapi perkara yang lebih sekunder (antar kelompok).

Memang di Ambon telah terjadi konflik antar penganut agama Islam dan penganut agama Kristen tapi tidak seperti di India yang sampai pada pemisahan wilayah menjadi negara merdeka (Pakistan).

Sekarang kita sudah punya Nyawa (rasa toleran) yang lebih baik lalu bagaimana? Munculkanlah tokoh tokoh yang bisa dijadikan simbol. Tiap tingkatan harus punya tokoh yang bisa dijadikan panutan sebagai simbol. Tokoh yang “bernyawa” artinya memiliki spiritualitas untuk dapat menggunakan Ahimsa sebagai metode.

Mari kita pilih tokoh yang berNyawa untuk jadi pemimpin 2009.

2 Komentar

Filed under budaya

2 responses to “Ahimsa Untuk Indonesia

  1. Ping-balik: Tewasnya Benazir Bhutto « Budayawan Muda

  2. len kali kasi juga e2 satya.. sinang karaja kami….

Tinggalkan Balasan ke Stefanie Lynn Dangatil Batalkan balasan