Revolusi Industri Musik Indonesia

Rute Pondok Kopi – Rawamangun terasa dekat karena sering antar jemput ponakan yang tinggal di Rawamangun. Ditengah rute tersebut saya sering mampir disebuah Mall. Mall Klender yang dulu dikenal dengan nama Swalayan Jogja yang hangus terbakar waktu heboh penjarahan diawal reformasi.

Biarpun kecil Mall ini menyediakan hampir semua kebutuhan, bisa makan pizza, donut, fried chicken, swalayan, baju baju, warnet, ATM, salon kecantikan dan ada toko CD favorite saya, DiscTara. Hampir 50% koleksi CD saya beli di toko ini. Tapi entah kenapa setelah sebulan saya tidak mampir ternyata DiscTara tutup.

Saya tidak sempat tanya sama pegawainya kemana mereka pindah (kalau memang pindah). Setelah itu saya coba cari toko CD ke tempat lain tapi banyak yang sudah tutup duluan. Ada apa nih.. kok banyak toko CD pada tutup. Apa karena bisnis musik sedang turun? Padahal sejak dua tahun terakhir band band baru sedang bermunculan di industri musik Indonesia. Sebut saja mulai dari Peterpan, Ungu, Samsons dan tentu saja band yang sudah lebih dahulu exist seperti Dewa, Padi, Slank dst.

Tidak mungkin bisnis musik lesu pikir saya, lha wong musisi dan penikmat musiknya bertambah banyak, kenapa mesti lesu? Sampai akhirnya majalah Rolling Stone versi Indonesia edisi Maret menulis kiamatnya industri musik Indonesia. Widi Asmoro dari Sony BMG yang saya minta klarifikasinya tentang hal ini membenarkan, bahkan lebih jauh lagi Widi menyebutkan bahwa musisi Indonesia sekarang ini lebih hanya mengandalkan honor dari konser untuk biaya hidup sehari-hari ketimbang dari royalti rekaman. Walaupun menurut Widi musik itu sendiri tidak akan pernah mati sementara industri musik kelihatanya bakal terus terpuruk.

Saya baru mendapat gambaran yang lebih jelas tentang apa yang terjadi setelah membaca blognya Pak Budi Rahardjo seorang pemerhati masalah TI. Menurut Pak Budi terpuruknya industri musik karena selain pembajakan juga karena perubahan kebiasaan cara mendengarkan musik yang semula dalam format audio menjadi format digital. Seketika saya sadar bahwa musik yang saya dengar setiap hari selama ini adalah musik digital hasil transfer dari CD Audio original yang saya beli.

Rupanya kebiasaan saya itu sangat berpengaruh karena terjadi secara global. Ini membuka wawasan saya bahwa apa yang sebenarnya sedang terjadi adalah sebuah revolusi, revolusi media yang dikomandani oleh perkembangan teknologi yang sangat pesat.

Sepuluh tahun yang lalu kebanyakan orang mendengarkan musik dari kaset atau CD, membaca berita dari koran atau majalah, menonton hiburan dari TV atau video. Sepuluh tahun yang lalu kebanyakan orang menggunakan komputer hanya untuk produktifitas kerja kantor atau game, menggunakan internet hanya untuk baca email atau baca berita diportal atau versi online dari media cetak atau hanya untuk cari informasi di Search Engine.

Kini mungkin kebanyakan orang akan mengerti bahwa sudah terjadi perubahan media dari konvensional ke digital. Dulu baca berita dimedia cetak sekarang baca berita diinternet, dulu dengar musik ditape, sekarang dengar musik dikomputer atau mp3 player. Dulu orang pakai HP hanya untuk telephone dan SMS, sekarang orang pakai HP untuk koneksi internet atau nonton TV.

Tapi apakah hanya sebatas itu. Kalau kita cermati seperti cerita saya diatas maka perubahan ini sesungguhnya membawa implikasi yang sangat luas. Berubahnya media mengubah perilaku masyarakat, berubahnya perilaku masyarakat mengubah tatanan ekonomi, bisnis, sosial, agama, budaya bahkan politik. Bagaimana itu terjadi kita mesti simak secara keseluruhan mulai dari proses perubahan.

Setelah komputer digital menjelma dalam bentuk PC yang murah meriah dan dapat dimiliki oleh banyak orang, kemudian Bill Gates dari Microsoft menciptakan Sistem Operasi Windows yang membuat PC menjadi bisa digunakan tidak hanya untuk mengetik tapi juga untuk mendengarkan musik, menjelajah internet, nonton film, bermain game dll, kemudian lagi Linus Torvalds menciptakan Sistem Operasi Linux yang memfasilitasi jutaan server situs web baru penyedia content digital, maka perubahan besar sudah dimulai.

Media telah berubah, orang yang baca berita diinternet semakin banyak, pembaca berita dari media cetak tentunya semakin sedikit. Orang yang mendengarkan musik dari komputer atau mp3 player semakin banyak sementara pendengar musik dari stereo-tape semakin sedikit. Orang yang menonton video dari DVD semakin banyak sementara penonton video dari VCD semakin sedikit. Perilaku telah berubah lantas apa selanjutnya.

Pada prinsipnya masyarakat menginginkan kemudahan entah dari akses, harga atau penggunaan dari sebuah media. Keadaan ini membuat industri hardware dan software berlomba lomba membuat format digital mereka supaya bisa dinikmati oleh pengguna peralatan media digital. Leonardo Chiariglione dari Moving Picture Entertainment Group menciptakan salah satu format digital paling populer, yaitu MP3 untuk musik dan MPEG untuk video. Steve Jobs dari Apple menciptakan iPod sebagai MP3 player pertama yang kemudian segera ditiru oleh banyak produsen hardware lainnya dengan harga jual murah meriah bak kacang goreng. Belum lagi produk HP yang semakin murah dan semakin canggih yang memungkinkan pengguna HP bisa melakukan apapun yang biasa dilakukan di PC.

Karena media baru (baca: digital) memiliki sifat akses yang mudah, harga bersaing dan pengoperasian yang sederhana membuat akselerasi perubahan semakin cepat. Ketika rasio pengguna media-baru sudah semakin besar dibanding dengan pengguna media-lama maka mulailah timbul gejala gejala yang sebelumnya hanya diyakini sebagai gaya hidup modern saja.

Masih ingat fenomena Inul Daratista dengan aksi goyang ngebornya? Fenomena ini memicu polemik nasional berkepanjangan. Berbagai tokoh sosial dan agama ikut terlibat dalam kisruh goyang ngebor ini. Tahukah anda media yang digunakan Inul untuk meroketkan popularitasnya? Media yang dipakai adalah VCD aksi goyang ngebor yang bajakanya dapat diperoleh dengan mudah dan harga murah.

Alasan Rupert Murdoch yang dijuluki Raja Media Barat membeli portal MySpace.com seharga 580 juta dollar adalah karena oplah media cetak semakin turun sementara belanja iklan perusahaan pemasangan iklan di internet semakin besar.

Parameter sukses sebuah Band dibarat sekarang sudah mulai menggunakan download singles dan bukan lagi jumlah copy album yang terjual.

Kalau sudah begini apa yang mesti kita lakukan? Haruskah kita bertahan dengan paradigma lama? Haruskah para pelaku industri musik tanah air (baca: Label) bertahan tidak mau membuka diri dengan tidak menjual produknya secara online.

Ada contoh menarik tentang hal ini. Di dunia jurnalistik kita mengenal media baru yang bernama Blog. Semula banyak pelaku jurnalistik yang mencibir tentang keberadaan Blog yang dianggap tidak serius ini. Seperti halnya pelaku industri musik yang mengecam MP3 sebagai biang kerok pembajakan. Tapi kemudian Blog mulai dihayati sebagai media baru yang juga bisa menjadi media jurnalisme serius.

Budi Putra seorang wartawan Tempo yang sudah cukup mapan memutuskan berhenti bekerja untuk Tempo dan memilih menjadi fulltime blogger. Perusahaan perusahaan mulai mengasuh Blog sebagai ajang Public Relation dan marketing mereka.
Apa akibatnya jika kita tidak memperhitungkan keberadaan media baru ini? Nila Tanzil seorang jurnalis dan juga seorang blogger telah membuktikan bahwa media baru tidak bisa dinafikan begitu saja keberadaannya. Tulisan Nila pada blognya membuktikan pemerintahan sebuah negarapun tidak bisa terhindar dari perubahan.

Sebuah negara, tepatnya Malaysia. Kisahnya berawal dari Nila sebagai presenter TV swasta diundang oleh pemerintah Malaysia untuk meliput promosi pariwisata negara itu. Pemerintah Malaysia menghendaki liputan sesuai keinginan mereka alias tidak mengungkap fakta sebenarnya yang tentu saja tidak bisa diterima oleh Nila. Sepulang ke tanah air Nila menulis di blognya tentang liputan tersebut apa adanya. Tulisan itu kemudian mengundang polemik yang berujung statement dari dua orang mentri Malaysia (Menteri Pariwisata Malaysia dan Menteri Penerangan Malaysia). Dua menteri tersebut menyatakan bahwa media baru bernama Blog berikut dengan para bloggernya tidak bisa dipercaya alias pembohong. Tentu saja para pembaca berita sudah tahu siapa yang mengungkap fakta yang sebenarnya tentang pariwisata Malaysia.

Mereka (dua orang menteri ini) yang mewakili pemerintahan sebuah negara sekalipun tidak bisa melawan arus perubahan dimana orang orang sudah mengalami perubahan. Walhasil promosi yang semula ditujukan untuk membangun citra positif pada pariwisata Malaysia malah menuai citra negatif hanya kerana tidak tanggap pada perubahan media.

Ketika invasi Amerika ke Irak dimulai banyak media resmi Barat yang menggunakan blog-blog individual sebagai referensi mereka. Ini membuktikan media baru bernama Blog tidak bisa dianggap main-main peranannya dalam jurnalisme.

Kembali ke bidang musik dimana lebih banyak lagi fakta yang bisa diungkap. Angelina Alfareza (Echa) seorang yang berasal dari keluarga musisi (ayah, ibu, suami dan adik adiknya semua berprofesi sebagai musisi) mengungkapkan banyak hal tentang kehidupan musisi. Kakak kandung Audy Item ini menggambarkan kehidupan musisi tanah air memang cuma mengandalkan pemasukan dari konser, manggung, iklan, dan kalo ada yg bisa main sinetron atau film termasuk orang yang beruntung, at least itu dari sisi bisnis katanya.

Menurut Echa band-band atau artis yang masanya sudah agak lewat, kalo tidak legend-legend banget dan tidak punya massa penggemar bakal sulit untuk survive di dunia musik. Lebih jauh lagi Echa mengungkapkan untuk band atau penyanyi yang memiliki sisa kontrak album masih ada harapan dengan berbagai syarat berat diantaranya harus ada 3 hit singles dalam satu album. Kalau syarat tersebut tidak terpenuhi maka jangan harap Label akan merilis albumnya.

Istri musisi Emil personel band NAIF ini kadang suka prihatin dengan anak-anak band baru yang minta didenger demonya untuk minta sumbang saran dan bantuan link ke produser atau Label. Mereka datang dengan setumpuk harapan, angan-angan ingin ngetop dan banyak uang. Sekarang tidak segampang itu, selain materi musti kuat, ada hits, promo, management artisnya, faktor x dari artis itu sendiri tukasnya. Echa berpendapat bahwa untuk band/artis sekarang sebaiknya diedukasi supaya bisa beradaptasi dengan perubahan media.

Saya setuju. Pembajakan bukanlah satu-satunya biang kerok keterpurukan industri musik. Sebelum maraknya media digitalpun pembajakan sudah ada tapi efeknya tidak seperti sekarang. Para pembajak rupanya lebih tanggap akan perubahan media dibanding para pelaku industri musik itu sendiri.

Kita belum lagi benar benar memasuki puncak dahsyatnya perubahan. Sebentar lagi pemerintah akan menggelar megaproyek Palapa 02 Ring (Palapa Ring) yang nilai proyeknya mencapai Rp 3 triliun. Sudah ada konsorsium 7 perusahaan besar yang akan ikut tender megaproyek Palapa Ring ini. Palapa Ring nantinya akan menjadi infrastruktur telekomunikasi broadband (backbone) yang akan menghubungkan 33 propinsi yang mencakup 460 kabupaten.

Kalau saya ibaratkan backbone itu bolehlah dikatakan jalan tol telekomunikasi, sementara pintu tolnya adalah handset telephone selular dengan fasilitas koneksi internet yang sudah semakin murah dan canggih, apalagi setelah handset generasi 3G keluar.

Jika nanti pada masa Palapa Ring ini sudah beroperasi maka bisa dibayangkan perubahan yang akan terjadi. Media baru akan semakin mengambil peran penting. Download MP3 bisa selesai hanya dalam hitungan detik. Hampir semua yang biasa dilakukan lewat PC akan dilakukan lewat HP. Padahal anda tahu sendiri pengguna HP jauh lebih banyak daripada pengguna PC dan akan terus bertambah (bayangkan jumlah pemakai HP di 460 kabupaten).

Siapa yang masih mau bertahan dalam keadaan seperti ini dengan paradigma bisnis lama. Bisakah pelaku industri musik menghentikan aksi pembajakan dengan cara cara lama? Sementara para pembajak terus saja memanfaatkan media baru ini untuk mengeruk keuntungan.

Satu satunya cara adalah mengikuti arus perubahan dengan menggelar produk musik secara online maka singles dalam satu album bisa didownload secara individual dan tidak lagi wajib membeli satu album penuh. Adinoto seorang pencinta Apple mengungkapkan fakta dalam sebuah milis bahwa penyedia musik digital online iTunes Music Store berhasil menjadi penjual terbesar ke 4 (1. Wal Mart, 2. Best Buy, 3. Target, 4. Apple, 5. Amazon) dengan jualan 3 milyar download lagu, dan 50 juta film.

Menurut Hanna Hallberg seorang analis dari BergInsight.com memperkirakan nilai penjualan musik digital akan melampaui nilai penjualan musik audio (CD dan Kaset) pada tahun 2011 untuk kawasan Eropa yang nilainya diperkirakan mencapai 11.6 milyar Euro.

Kaum pesimistis bisa saja berdalih bahwa fakta itu kan berasal dari Barat yang notabene masyarakatnya menghargai hak cipta sedangkan di tanah air kondisinya berbeda karena masyarakatnya kurang menghargai hak cipta alias lebih suka beli barang bajakan.

Saya katakan jangan terlalu percaya analisa yang tergesa gesa seperti itu karena parameter yang digunakan tidak seluruhnya valid. Kalau memang masyarakat Barat dengan penghargaan pada hak cipta yang begitu tinggi itu bisa meredam pembajakan tentunya industri musik mereka tidak akan mengalami perubahan tapi toh ternyata industri musik Barat juga mengalami perubahan seperti yang saya paparkan diatas. Ini seperti logika bolak balik atau lingkaran setan.

Saya coba lakukan pendekatan dengan cara yang berbeda. Pembajakan hanya efektif berlaku pada masyarakat yang kurang menghargai hak cipta. Sementara perubahan efektif berlaku pada semua masyarakat baik yang menghargai maupun yang kurang menghargai hak cipta.

Baik pelaku industri musik maupun pelaku pembajakan sama sama beroperasi pada sebuah media yang sama dimana media tersebut memiliki sifat dan karakteristik yang bisa dipakai untuk mengoptimalkan tujuan masing masing.

Proses perubahan itu mengalami tingkatan mulai dari medianya itu sendiri kemudian pada perilaku pengguna media sampai pada tatanan kehidupan sosial, ekonomi, budaya dst. Sebelum format MP3 keluar para pembajak menggelar produknya dalam bentuk CD Audio bajakan dengan harga jauh dibawah CD Audio original. Begitu media MP3 mulai marak para pembajak menggelar produk bajakan dalam bentuk CD kompilasi musik MP3 yang mampu memuat sampai beberapa album yang mencakup ratusan singles dengan harga yang lebih murah dari CD Audio bajakan (karena perbandingan harga dan jumlah lagu yang bisa didapat dalam satu CD).

Pada dua perubahan diatas apa yang dilakukan pelaku industri musik praktis tidak ada dalam hal memanfaatkan perubahan untuk antisipasi gerak pembajak. Sekarang perubahan sedang terjadi lagi. Dulu orang masih suka beli CD kompilasi musik format MP3 bajakan tapi sekarang kecenderunganya orang lebih selektif dengan mendownload singles yang mereka inginkan saja. Padahal fasilitas download belum lagi mencapai puncaknya karena berbagai kendala termasuk infrastruktur.

Nanti kalau fasilitas download sudah benar benar memasyarakat (tidak lama lagi) akankah pelaku industri musik melakukan kesalahan yang sama? Jangan ditanya bagaimana dengan para pembajak karena mereka pasti akan melakukan sesuatu. Sebelum itu terjadi cepat antisipasi, ikuti perubahan, gelar musik secara online supaya penikmat musik bisa mendapat produk secara legal. Jangan khawatir dengan para pembajak yang akan ikut ikutan memberi layanan yang sama karena penikmat musik akan selalu mencari layanan yang terbaik.

Sejauh pengamatan saya penyedia layanan MP3 untuk musik Indonesia belum ada yang legal dan profesional. Kalaupun ada masih menggarap pasar longtail alias produk musik indie dan belum mencakup produk dari major Label. Industri pendukung seperti micropayment atau killer-application biasanya akan bersambut karena tertarik dengan kegiatan bisnis yang sudah berjalan.

Ada satu contoh menarik dari dunia software. Kita tahu pada PC ada Windows, tapi tahukah anda berapa harga Windows yang original, saya rasa sebagian besar dari pengguna PC di tanah air tidak akan mampu membelinya. Yang mampu dibeli adalah versi bajakannya. Berbeda dengan pengguna PC yang menggunakan sistem operasi Linux pada PC mereka. Linux bisa diperoleh dengan harga yang sangat murah sehingga sangat populer dikalangan mahasiswa bahkan dikalangan perusahaan yang mau memanfaatkan perubahan.

Tentunya para pengguna Linux ini terbebas dari tudingan pelanggaran hak cipta. Ada memang yang pesimis dengan mengatakan apakah masyarakat kita perduli dengan predikat pelanggar hak cipta atau tidak. Itu terpulang kepada perlakuan dan layanan pelaku industri kepada masyarakatnya.

Beri layanan yang terbaik dan jadilah agen perubahan digarda terdepan, jangan takut kendala apalagi takut rugi karena toh selama ini industri musik sudah merugi terus dihantam para pembajak dan perubahan. Antisipasi perubahan maka sekali tembak dua musuh terkalahkan.

15 Komentar

Filed under musik

15 responses to “Revolusi Industri Musik Indonesia

  1. Tommy Pratomo

    Mas Wibisono..
    Analisa yang menarik dan memang pada kenyataan yang sebenarnya itulah terjadi pada saat ini..
    Semoga pada akhirnya mayoritas penduduk indonesia akan menyadari perubahan yang terjadi saat ini.

    Salam hangat dari Swiss,

  2. Ping-balik: Renungan Fenomena Kangen Band « Budayawan Muda

  3. @Tommy Pratomo:

    Salam sejahtera untuk anda di Swiss. Sekarang gejala kearah runtuhnya industri musik sudah semakin nyata.

    Dari milis mediacare ada berita tentang para Major Label telah membentuk manajemen artis sendiri yang akan dicoba diberlakukan ke artis baru yang masih lugu.

    Manajemen artis ini nanti bekerja menggenjot pemasukan Label dengan cara menambah pemasukan dari manajemen artis untuk mencegah kebangkrutan.

    Sebuah gejala yang memicu pro kontra dikalangan industri musik. Satu yang jelas: perubahan telah masuk stadium lebih lanjut.

  4. Untuk lebih lengkapnya saya kutipkan tulisan tersebut disini:

    Seorang kawan Seringai bernama Wenz Rawk menuliskan ini untuk dibaca dan difahami bersama,

    Teman-teman, kita sudah sampai di era baru industri musik.

    Era dimana label rekaman melancarkan strategi terkejam dalam sejarah industri musik di tanahair: Menguasai artis dengan jalan mengelola karir mereka. Istilah populernya mereka melakukan ekspansi bisnis dengan cara membuka divisi Manajemen Artis di label rekaman.

    Gue adalah salah seorang yang nggak setuju dengan berdirinya manajemen artis dalam sebuah label rekaman. Gue punya argumentasi yang kuat untuk ini. Label rekaman itu INKOMPETEN untuk urusan manajemen artis dan nantinya gue yakin malah bakal merusak tatanan industri musik yang selama ini otonom dari tiga belah pihak terkait (artis, manajemen, label).

    Bisnis utama label rekaman adalah jualan kaset, CD, RBT, dsb. Semua yang berhubungan dengan rekaman musik. Dari nama saja sudah jelas: Perusahaan Rekaman! Akhirnya ketika mereka membuka divisi baru (Artis Manajemen) gampang ditebak kalo kerepotan dan berbagai kebodohan dalam urusan manajerial artis bakal terjadi di sana. Mulai dari SDM yang mereka miliki butut hingga praktek-praktek jualan band yang obscure. Karena mereka masih “belajar” maka jangan cari profesionalisme manajemen artis di dalam major label 🙂

    Conflict of interest tingkat tinggi juga bakal terjadi di dalam band ketika manajernya bingung harus membela kepentingan yang mana nantinya (artis atau label?). Secara manajer lama kemungkinan besar bakal “digaji” oleh label dan nanti hanya akan menjadi sub-ordinat dari manajemen baru.

    Gara-gara pembajakan musik yang makin gokil (bahkan konon direstui negara) dan menurun drastisnya penjualan album fisikal, akhirnya mereka mengambil jalan pintas mendirikan manajemen artis yang ujungnya lagi-lagi merugikan artis nantinya. Label bukannya bersatu memerangi pembajakan namun malah berkomplot untuk mengeksploitasi artis habis-habisan agar mereka bisa terhindar dari kebangkrutan.

    Biarkan artis yang bangkrut, tapi jangan labelnya! Kira-kira kasarnya begitu. Sekali lagi artis adalah obyek penderita nomor satu nantinya.

    Setelah kecilnya nilai royalti mekanikal di Indonesia, statistik penjualan album yang manipulatif, dilarangnya artis bergabung dengan KCI oleh ASIRI (atau diminta keluar dari KCI jika telah bergabung) maka penindasan terhadap artis akan datang lebih kejam lagi nantinya. Detailnya kira-kira seperti di bawah ini.

    Ini prediksi yang bakal terjadi di masa depan dengan “artis-artis baru” yang kontrak dengan major label yang memiliki divisi manajemen artis:

    – Masa depan karir band baru akan tergantung dari label rekaman, bukan berada di tangan manajemen lama atau artisnya sendiri.

    – Tumpulnya peran dan kontrol manajemen artis yang lama dalam membela kepentingan-kepentingan artis. Manajemen lama akan menjadi sub-ordinat dari label dan kemudian hanya berfungsi sebagai baby-sitting artis. Semua fungsi kontrol dan decision making artis akan terpusat kepada label sebagai investor. Manajer lama tidak punya hak karena mereka tidak invest apapun. Kemungkinan besar mereka akan disingkirkan dengan jalan “pembusukan “. Mempengaruhi artis dengan iming-iming kesuksesan di industri musik.

    – Kontrol yang sangat ketat dalam proses kreatif dan menciptakan musik berakibat hilangnya idealisme artistik & estetis karena artis hanya akan diperbolehkan menciptakan musik-musik yang tengah disukai oleh pasar yang tidak cerdas. Sejuta band mirip Kangen Band diprediksi akan membajir di industri musik kita 🙂

    – Berkurang secara signifikannya pemasukan bagi artis karena mereka harus share profit selain dari royalti mechanical, live show, merchandise, touring, advertising, publishing dan sebagainya. Hal yang belum pernah terjadi sebelumya. It’s a very big, big, big LOSS, ladies & gentleman!

    – Buruknya lagi, kalau artis baru nanti terlalu blo’on, maka tingkat eksploitasi akan diperkejam lagi hingga nama band dipatenkan oleh label, internal band akan dikontrol langsung pihak label, penggelapan royalty, sales report yang culas hingga berlakunya sistem bodoh dengan label menggaji para artis. Jika selama ini kita memandang artis sebagai seniman dengan talenta yang tidak ternilai maka selanjutnya kita akan dipaksa memposisikan artis tak lebih dari “kuli musikal.”

    Strategi ” mega-eksploitatif” ini memang hanya diberlakukan bagi band-band baru yang ditawarkan kontrak rekaman oleh major record company. Contoh paling konkret misalnya terjadi pada Nidji, Letto (Musica), The Changcuters, St. Loco, Vagetoz (SonyBMG Indonesia), Kangen Band (Warner), Tahta (EMI), dsb. Semuanya memang memiliki deal-deal yang berbeda satu sama lain. Maksudnya tingkat eksploitasinya berbeda-beda. Ada yang parah dan ada yang parah banget. Gue sempat mendengar ada satu band yang dipotong komisinya sebesar 45% (gross) setelah join dengan manajemen artis major label.

    Band baru yang hadir dengan strategi yang brilyan dan sangat berhasil di awal karirnya adalah Samsons yang melakukan master licensing deal dengan Universal Music Indonesia . Mereka membiayai sendiri produksi rekaman dan kemudian menjalin kerjasama promosi & distribusi dengan major label selanjutnya. Ke depannya deal seperti ini nantinya akan menjadi “favorit” para manajer artis (tentu bila mampu).

    Pastinya, label rekaman tidak akan menawarkan strategi keji ini kepada band-band lawas/senior karena bargaining position mereka sudah sangat kuat. Selain brand mereka sudah dikenal luas, pengalaman dan pengetahuan bisnis musik yang sangat memadai, fanbase yang kuat juga sangat berpengaruh terhadap positioning mereka di industri musik. Label sendiri kadangkala melihat artis-artis lawas sebagai “uzur,” “grace period” atau sudah rendah “selling point”nya.

    Itulah kenapa akhirnya label rekaman besar hanya akan memburu band-band/artis baru yang masih hijau, yang minim pengetahuan bisnis musiknya dan belum paham peta/konstalasi industri musik lokal. Selain bakal gampang dibodohi dengan kontrak yang sangat eksploitatif mereka juga akan dipengaruhi iming-iming “fame & fortune” di industri musik. Padahal belum tentu bakal “booming” juga 🙂

    Jika Anda saat ini berada di sebuah band baru dan ditawarkan kontrak rekaman dari major label maka jangan terburu-buru tergiur dulu! Imej bergengsi major label tidak akan banyak memberi keuntungan. Yang terpenting adalah deal-nya, bukan masalah major atau indie label-nya. Pelajari dulu dengan seksama kontraknya, undang pengacara kenalan Anda untuk membedahnya, konsultasi dengan band-band lain yang sudah berpengalaman.

    Sudah banyak kasus terjadi sebelumnya. Band-band baru menandatangani kontrak rekaman jangka panjang dengan major label dan akhirnya menyesal. Ketika bandnya booming dan banyak menerima job manggung beberapa ada yang melakukan “resistensi” konyol dengan tidak menyetorkan komisi kepada label sesuai perjanjian. Menjadi konyol karena setelah kontrak rekaman itu ditandatangani maka konsekuensi-konsekuensi di belakangnya seharusnya sudah kita tahu sejak awal. Oleh karena itu jangan ikut mengantri di barisan kebodohan. Empowered yourself!

    Cara kerja label juga akan lebih mirip jarum suntik nantinya. Sekali pakai langsung buang, disposable. Artis-artis baru tidak akan ada yang didevelop untuk panjang umur karirnya, mereka hanya akan disupport demi “popularitas maksimal dua atau tiga album saja!” Setelah booming besar dan untung besar, siap-siap menuju ladang pembantaian. Setelah dibantai maka dicari lagi talenta baru. Kalau kita jeli fenomena seperti ini sebenarnya telah terjadi sekarang ini di Indonesia.

    Label besar sejatinya nanti hanya akan menjadi pusat manufaktur band! 🙂 Kita tidak akan menemukan lagi band-band awet populer seperti Slank, Gigi, Netral, Dewa19, Naif di masa depan nantinya. Semuanya hanya akan “easy come, easy go!”

    Tapi kalo ada yang bilang label membuka manajemen artis bakal membunuh pula profesi manajer artis individual/otonom, gue sama sekali nggak setuju. Gue justru nggak melihat kalau manajer-manajer artis yang independen itu bakal tergusur atau kehilangan pekerjaan. Ini analisa yang terlalu sembrono. It’s not the end of the world as we know it 🙂 Negara ini punya lebih dari 200 juta penduduk. Yang pengen jadi artis, bikin band dan gilpop (gila popularitas) setiap harinya pasti bertambah ribuan. Justru segudang talenta ini menjadi market yang sangat potensial bagi manajer-manajer artis untuk dikelola.

    Manajemen artis yang individual atau berbentuk firma masih akan sangat dibutuhkan dan berperan penting di sini nantinya. Perkembangan teknologi yang gokil belakangan masih menjanjikan masa depan yang cerah buat band-band yang tidak dikontrak major label lokal/internasional a.k.a indie. Hadirnya MySpace, YouTube, Multiply, Friendster, Ning dan perangkat musik digital lainnya sangat memungkinkan untuk mencetak artis besar via jalur alternatif. The Upstairs sendiri udah membuktikan hal ini sebelumnya.

    Apalagi tren terbaru di Amrik dan Inggris sekarang rata-rata artis bernama besar malas memperpanjang kontrak rekaman mereka dan memilih hengkang dari major label. Prince, Madonna, Radiohead, NIN adalah para pelopor “gerakan kembali ke indie” ini. Mereka justru mempercayakan manajemen artis mereka yang independen untuk berfungsi pula sebagai “label rekaman”. Cepat atau lambat gue pikir band-band besar di Indonesia akan mengambil langkah yang sama nantinya. Slank, Naif dan Netral malah sudah membuktikannya….. dan mereka cukup berhasil! Salute!

    Masih adakah jalan lain? Ada banget! Di dalam negeri sendiri sudah ada yang mempelopori “penggratisan musik.” Album rekaman kini telah berubah fungsi menjadi sebuah “marketing tool” untuk menjaring job manggung. Mungkin inilah masa dimana musisi tidak lagi memikirkan royalti rekaman! Bisa jadi kalau teknologi kloning nanti sudah semakin sempurna maka ini berarti ancaman besar! 🙂

    Koil menjadi pionir dengan menjalin kerjasama dengan majalah musik untuk mendistribusikan album terbarunya (Blacklight Shines On) secara gratis. Selain itu mereka juga memberi akses download album gratis via website/mailing list musik. Ide Koil ini memang tergolong baru walau sebenarnya tidak original juga. Prince bulan Juni lalu lebih dulu mengedarkan 3 juta keping album terbarunya secara gratis via Tabloid Sun di Inggris.

    Memang perlu dipelajari lebih lanjut lagi apakah strategi “penggratisan musik” ini nantinya bakal merugikan atau malah menguntungkan. Yang pasti band-band baru tidak akan memiliki “keistimewaan” seperti Koil jika mau mengambil strategi serupa.

    Yang menarik lagi, sempat ada pertanyaan di bawah ini yang datang ke saya ketika jadi pembicara di sebuah seminar musik di kampus UI beberapa waktu lalu:

    Bagaimana dengan marak terjadinya kasus manager-manager artis individual/otonom yang tidak profesional atau bermasalah? Katakan saja menipu artisnya, melakukan penggelapan keuangan, dsb.

    Nah, untuk point di atas sebenernya gue jamin nggak akan terjadi lagi kalau di dalam manajemen artis kita sudah DITERTIBKAN secara organisasi dan administrasinya. Mari kita lihat apakah kita sudah memiliki kontrak tertulis antara manajemen dengan artis yang mengatur kerjasama profesional ini? Apakah peran, hak & kewajiban masing-masing pihak sudah di jabarkan secara rinci? Pemisahan fungsi manajemen sudah diberlakukan? Apakah antar personel band kita sudah memiliki kontrak internal pula? Kalo semua konsolidasi internal ini beres gue jamin masalah-masalah di atas nggak bakal terulang lagi di masa depan.

    Oke, sementara begitu aja pandangan gue tentang isyu ini. Memang tulisan ini nggak akan mengubah strategi major label untuk tidak membuka divisi manajemen artis di dalam perusahaan mereka, toh semuanya jadi keputusan bisnis mereka juga. It’s their damn business afterall 🙂 Lagipula masih ada juga major label yang tidak memberlakukan strategi dagang ini (paling tidak sementara ini), misalnya seperti Aquarius Musikindo, Universal Music Indonesia.

    Yah, minimal kita bisa mencegah regenerasi kebodohan dan berlanjutnya proses pembodohan seperti ini sekarang juga.

    Gue sangat berterimakasih kalo ada teman-teman yang mau memforward atau menyebarluaskan tulisan ini agar dibaca lebih banyak artis-artis baru yang berniat mempertaruhkan masa depan dan karir mereka sebagai musisi. Jangan biarkan mereka dirampok!

    Hope we could make real changes together.

    For better, not worst….

    Vive le rawk!

    RICKY SIAHAAN

    Senior Editor

    Rolling Stone Magazine

    Jalan Ampera Raya No 16, Cilandak Jakarta 12560, INDONESIA

    Phone (62-21) 7816611, Fax (62-21) 7891551

    http://www.rollingstone.co.id

  5. Secara garis besar analisanya oke punya, namun saya jadi berpikir, apakah penetrasi Media digital di Indonesia sudah sedemikian hebat?!
    Dirumah saya, dari 6 orang dewasa, hanya saya yang aktif ber-internet ria.
    Kakak saya yang menjadi Pimpinan Lembega Pendidikan Bahas Inggris ternama…..tetep ngandalin koran, dikantornya gak kenal INTERNET….kirim segala sesuatu dokumen antar kota masih POS dan Maximal jika Urgent pake FAX.
    Istri saya juga masih tetep minta dibelikan Tabloid…..
    Adik saya dikamar gak konek ke Internet…., kalo mau kirim email masih ngandalin KAMPUS atau WARNET.

    DI tempat saya siaran sebagai Penyiar Radio, meski disediakan fasilitas Internet Speedy, masih dibatasi penggunaanya.
    Dari puluhan karyawan Radio jaringan MNC itu, gak sampai 1/5-nya yang bisa internet-an.

    Dikantor saya yang satu lagi….dimana saya hanya menjadi konsultannya….meski kantor itu punya website, hanya 2-3 orang diantara ratusan karyawannya yang Online setiap hari secara rutin….bahkan Level Manager keatas semua masih GAPTEK!!!

    Masih banyak komunitas yang aktif saya sambangi, gak sampai 1/10-nya yang kenal INTERNET!!!

    Kesimpulan saya, media cetak masih punya kans di Indonesia….

    Industri musik konvensional juga masih sangat terbuka peluangnya.

    Kuncinya, untuk Industri musik, adalah menciptakan software proteksi agar formatnya tidak memungkinkan dicopy secara bebas….dan HUKUM GANTUNG PEMBAJAK!!!

    Nha…..tugas pemerintah…….ajarin Rakyatnya melek teknologi, agar analisa kawan kita ini terwujud…..bahwa INDUSTRI MUSIK akan mati oleh teknologi Digital…..( Nyambung gak??! )

  6. @Jusananda:

    Terimakasih atas tanggapannya mas Jusananda.
    Dari tanggapan mas Nanda mungkin masih ada mispersepsi antara media digital dan internet.

    Harap dibedakan antara Internet sebagai infrastruktur media informasi dengan musik format digital itu sendiri (mp3, mpeg).

    Internet memang belum merambah sedemikian luas di Indonesia, pengguna Internet di Indonesia baru 20 juta dibanding jumlah penduduk yang 220 juta tentu sedikit sekali.

    Tapi pengguna musik media digital jauh lebih banyak dimana dampaknya telah membuat industri musik tergganggu.

    Pembajakan marak sejak media digital luas dipakai orang. Perpindahan atau replikasi media digitakl tidak harus lewat infrastruktur Internet.

    Bisa lewat flashdisk, bisa beli CD bajakan di pinggir jalan dan bisa copy langsung ke harddisk.

    Jadi pandangan anda bahwa media digital harus selalu berhubungan dengan Internet tidaklah terlalu akurat.

    Kenyataan luasnya pemakaian media digital tersebut telah menohok industri musik bukan saja Indonesia tapi bahkan industri musik dunia.

    Lihat kecenderungan penjualan musik digital yang semakin naik saja mungkin masih belum teryakinkan tapi melihat bagaimana perilaku pelaku industri seperti diatas maka ada baiknya kita siap siap menerima paradigma baru dunia digital.

    Sebenarnya industri musik tidak akan mati, industri musik hanya akan berubah bentuk dari kovensional ke media digital.

    Bagi pelaku industri yang tidak mau berubah maka siap siaplah mati, kalau mau survive yah harus menyesuaikan diri dengan keadaan.

    Sebab seperti analisis saya diatas dalam keadaan infrastruktur internet yang masih kecil saja di Indonesia dampaknya sudah seperti ini. Apalagi nanti jika penetrasi internet sudah meluas dimana musik digital ditraformasikan dengan jauh lebih mudah maka pelaku industri harus siap menyikapinya.

    Cheerss.. 🙂

  7. nyari major lebel malaysia………
    band gua banyak lagu……… buat rekaman nih????????????????

  8. bid

    Lalu siapa yg harus di salahkan?
    Lalu siapa yg bisa cari solusi nya?

  9. erwin hasibuan

    tolong ceritakan bagaimana sebuah industri musik yang ada di indonesia? trims

  10. erwin hasibuan

    beritahu saya tetang industri musik tanah air,kalau bisa yg ada di kota medan-sumut.makasih sebelumnya.

  11. …atau mungkin anda ingin mendengarkan musik dari radio online? please come visit us, Java FM memutar lagu hits indonesia sepanjang masa nonstop 24 jam

  12. sebenarnya agak susah untuk mengikuti digital, karena semakin lama, gadget pun semakin canggih.. coba bayangkan jika kita membuat penjualan lagu online Rp 5000/lagu misalnya.. suatu orang akan mendownload 100 lagu.. hanya habis Rp. 500.000 lalu dia mengopy ke dalam 500 keping CD yg di jual Rp. 5000 juga.. dan sisanya transfer file memalui Bluethoot/email/messenger..

    jadi hal – hal seperti ini yang harus diperhatikan..

    jadi, karya yang masih bisa dilakukan hanyalah RBT kalo menurut saya..

    terima kasih telah menulis hal – hal seperti ini 🙂

  13. Ping-balik: Global Voices in English » Revolutionizing the Indonesian music industry

  14. johnny

    kalau menurut pandangan saya,,SALAH PENIKMATNYA
    industri musik indonesia menjadi kacrut dan mundur malah jadi seperti era2 malaysia tahun 90an, dimana band “slam”, “exis” dkk booming..
    bodoh sekali, era2 musik indonesia yg sekarang sudah dilakukan malaysia belasan tahun silam..

    menurut saya ya maklum aja lah, orang2 kota di indonesia kn cuma sedikit, jumlah kota dan desa diindonesia itu lebih banyak desanya, tau sendiri kn orang desa seleranya..
    jadi salahkan mereka orang2 yang berselera desa, dan termasuk band2 desa yang turut membesarkan label2 bajingan yg dikatakan om wenzrawk,

    salah satu jalan keluarnya adalah kalo ketemu sama penonton yg suka menari2 di acara musik seperti da**at, de**ng, i* b*x dan sejenisnya, yg ditayangkan setiap hari dengan band2 popelir andalanya..
    tonton sebentar, hafalkan muka penontonya,, bunuh mereka kalau ketemu dijalan,haha

    “rendahnya selera masyarakat kita yang membesarkan kebodohan musik indonesia”

Tinggalkan komentar