Koin Keadilan

Perkembangan kasus Prita Mulyasari memicu solidaritas masyarakat secara spontan. Solidaritas dalam bentuk pengumpulan uang receh yang disimbolisasikan dengan “koin keadilan”. Posko (pos koin) penampungan koin muncul dimana mana hampir di seluruh Indonesia. Ganti rugi yang ditetapkan oleh pengadilan yang mencapai jumlah 204 juta rupiah menjadi target konkret pengumpulan, sementara target wacana adalah simbolisasi perlawanan rakyat kecil terhadap kekuasaan yang menindas.

Adanya dua target ini sering kali memicu perbedaan cara pandang, terutama dari orang orang yang memiliki pola pikir yang berbeda. Perbedaan ini sering dikumandangkan di social media seperti Twitter, blog ataupun Facebook. Semula ini hal yang tidak terlalu mengganggu, dinamika yang sangat lumrah di arena social media.

meeting di wetiga

Namun rupanya pengaruh social media ini sudah lebih kuat dari apa yang saya kira. Cara pandang yang berbeda ini mengalami penguatan disana sini hingga ke media mainstream. Malam itu (7 Des) di Wetiga kami sedang meeting bersama beberapa blogger lain diantaranya Ndoro Kakung, Enda Nasution, Paman Tyo, Ndaru dan hadir juga praktisi hukum Ari Juliano. Pada kesempatan meeting itu hadir beberapa wartawan dari berbagai media mainstream.

Kebetulan saya sempat diwawancara wartawan RCTI untuk Seputar Indonesia (Dady Suryadi) perihal layanan website Paypal yang diprovide oleh CyberGL untuk berpartisipasi dalam memenuhi target konkret ganti rugi 204 juta.

wartawan RCTI

Semula saya mempersiapkan diri untuk berbagai pertanyaan yang sifatnya teknis tentang payment gateway Paypal.com yang kami gunakan. Tapi agak sedikit diluar dugaan pertanyaan juga menyinggung soal perbedaan cara pandang diatas. Sejak dari mewawancara Ndoro Kakung banyak pertanyaan pertanyaan yang muncul seputar: kenapa Prita didukung habis habisan? kenapa koin? harus koinkah? kalau melebihi target bagaimana? bagaimana kalau tuntutan batal? Pertanyaan pertanyaan tersebut persis seperti apa yang beredar di social media.

Kalau kita bisa memandang hal ini dari dua persepsi tentang target diatas maka mungkin tidak perlu ada perdebatan seperti ini. Bagaimana saya melihat gerakan Koin Keadilan ini bisa saya tuliskan disini dan semoga bisa menjawab beberapa pertanyaan yang krusial.

Pertama tama tentang perbedaan antara target wacana dan target konkret. Ketika kita ingin mewujudkan sesuatu yang konkret maka biasanya dimulai dari wacana. Ketika kita sudah terlatih untuk mewujudkan wacana menjadi hal yang konkret maka wacana seperti tidak terasa, seperti orang bernafas, kita tak sadar bahwa kita sudah bernafas setiap saat yang membuat kita hidup dan mampu berbuat hal hal yang konkret.

Tapi ketika berwacana saja kita “tersengal-sengal” maka hal konkret apa yang bisa kita wujudkan? Untuk melancarkan berwacana dalam kondisi yang “tersengal-sengal” sering kali dibutuhkan “alat” bantu berupa “simbol”. Jaman dahulu wacana tentang keadilan disimbolkan dengan “Ratu Adil”.

Ratu dalam bahasa Jawa artinya Raja. Tempat tinggal Raja disebut ke-Ratu-an (keraton). Simbol “Ratu Adil” artinya penguasa yang adil. Tapi apakah penguasa yang adil tersebut konkretnya berupa Raja? ternyata tidak. Inilah bedanya. Simbol digunakan untuk berwacana sedangkan konkretnya tidak secara harfiah diterjemahkan sesuai textnya.

Pemilihan simbol diambil dari pola pikir masyarakatnya. Jaman dahulu simbol kekuasaan adalah Raja. Maka munculah konsep “Ratu Adil”. Konsep ini bukan untuk melanggengkan sistem kerajaan, tapi justru ingin keluar dari segala macam bentuk ketidakadilan dengan meminjam pola pikir masyarakatnya. Jadi simbol bisa muncul sedemikian rupa hingga bisa mengecoh akal sehat dari orang yang memiliki pola pikir yang berbeda.

Bila terjadi “miskonsepsi” bisa berakibat pada wacana yang hanya tinggal wacana dan tidak kunjung menjadi hal yang konkret. Kita tentu tak ingin terjebak pada situasi seperti ini. Banyak hal yang merefleksikan hal ini sekarang. Seperti misalnya hal tentang nasionalisme, tentang pelestarian budaya, tentang solidaritas dan berbagai hal yang terasa lebih banyak wacananya ketimbang hal konkretnya.

Mengkonkretkan wacana memang bukan hal yang mudah. Butuh latihan dan konsistensi dalam wacana itu sendiri. Bahkan pada tingkat negara ada legislatif yang berwacana (membuat undang undang) dan ada eksekutif yang mengkonkretkannya (menjalankan undang undang) dimana dalam prosesnya perlu pengawasan dan evaluasi.

Jika proses “pengkonkretisasian” itu dirasa tidak berhasil maka rakyat akan mencari jalannya sendiri. Contoh ekstrem dalam sejarah adalah reformasi sebagai wacana tahun 1998 dimana rakyat bersatu “mengkonkretkan” keadilan politik di negeri ini, walaupun wacana reformasi belum tuntas hingga kini.

Apa yang terjadi pada kasus Prita adalah gejala yang sama. Koin muncul sebagai simbol perlawanan rakyat kecil pada kekuasaan yang menindas. Tapi secara konkret tentu tidak harus harfiah berupa “koin”. Ada tujuan konkret dimana angkanya adalah 204 juta rupiah. Sedangkan tujuan wacana adalah perlawanan atas ketidakadilan dimana simbol keberhasilannya adalah pembebasan Prita dari segala tuntutan hukum.

Kalau kita bisa melihat dari dua sisi ini maka tak perlu bingung ketika misalnya terjadi penarikan tuntutan oleh RS OMNI atas Prita. Sebab apa yang terjadi adalah keberhasilan wacana perlawanan terhadap ketidakadilan dimana koin sebagai simbol telah berfungsi dengan sangat baik sebagai “alat” dari wacana perlawanan tersebut. Simbol koin berhasil menggerakan hati masyarakat dari berbagai lapisan untuk berbuat konkret mengumpulkan rupiah demi mendukung wacana perlawanan atas ketidakadilan.

Sedangkan hasil konkret bernilai ratusan jutaan rupiah (dalam bentuk koin maupun uang kertas) tidak akan kehilangan makna karena wacananya adalah melawan ketidakadilan dan bukan membantu Prita secara pribadi tapi membantu Prita yang dalam hal ini telah menjelma menjadi simbol.

Jadi bila ada yang mempertanyakan kenapa Prita didukung habis habisan karena Prita telah menjelma menjadi simbol. Lalu kenapa Prita bisa muncul sebagai simbol dan kenapa nenek Minah atau korban Lapindo kurang berhasil berfungsi sebagai simbol?

Simbol perlu diartikulasikan. Jaman perang kemerdekaan pidato para orator menjadi media artikulasi simbol simbol perlawanan. Kini kita berada pada era informasi. Lebih tepatnya era social media. Dimana media mainstream tidak bisa lagi seperti dulu menjadi satu satunya rujukan informasi bagi publik.

Era social media mengubah sama sekali bagaimana kita mendapatkan informasi secara lebih cepat, lebih transparan dan lebih akurat. Dengan karakteristik seperti itu tidak heran informasi pertama kepada publik tentang bom Kuningan ditemukan di Twitter. Bahkan CNN kalah cepat dengan Twitter dalam memberitakan konflik pemilu di Iran.

Berbagai wacana perlawanan atas ketidakadilan ditemukan di Facebook seperti misalnya dukungan kepada Bibit-Chandra yang menembus angka satu juta pendukung. Media mainstream memantau social media untuk tidak jarang dikutip dan dijadikan berita pada medianya.

Ketika kasus Prita, terjadi kehebohan di social media melebihi kehebohan kasus manapun sebelumnya yang disusul dengan pemberitaan di media mainstream. Kedua media ini saling menguatkan, ketika media mainstream memberitakan perkembangan kasusnya maka di social media ramai membahasnya. Sebaliknya media mainstream juga memantau perkembangan pendukung Prita di social media.

Kenapa kasus Prita lebih menarik perhatian komunitas online adalah karena kasusnya berkenaan dengan aktifitas yang dilakukan oleh komunitas online sehari hari, yaitu email. Komunitas online merasa terancam dengan apa yang terjadi pada Prita bisa terjadi pula pada mereka. Inilah sebab pembahasan Prita di social media lebih intens dibanding kasus yang lain. Prita menjadi simbol perlawanan mereka.

Lalu apa yang akan terjadi pada kasus kasus ketidakadilan yang lain? Akankah kasus lain mendapat perhatian yang sama seperti kasus Prita? Keberhasilan target wacana akan menjadi preseden baik dan melatih bagaimana mengkonkretkan rasa solidaritas.

Hasil konkret rupiah yang berhasil terkumpul dari berbagai lapisan dan berbagai bentuk (koin, uang kertas, check dan paypal) telah mencapai 500 juta lebih. Ini akan menguatkan rasa percaya diri masyarakat bahwa kita bisa mengubah wacana menjadi hal yang konkret. Walau beberapa sumbangan dalam jumlah besar baru muncul setelah gerakan koin terlihat lebih konkret.

Skeptisisme yang pernah muncul sebelumnya tentang berbagai gerakan berbasis solidaritas atau nasionalisme seperti gerakan #IndonesiaUnite akan terkikis dan semakin mengarah pada kemampuan melakukan gerakan yang menghasilkan sesuatu yang lebih konkret. Semua gerakan itu akan menjadi ajang latihan konkretisasi wacana yang merupakan pemberdayaan masyarakat.

Masyarakat yang lebih berdaya adalah jawaban dari apa yang dituntut pada ketidakadilan ditengah masyarakat kita dan bangsa kita. Maju terus Indonesia.

8 Komentar

Filed under sosial

8 responses to “Koin Keadilan

  1. tulisan yg bagus, oper ke fb ya

  2. BTW, ratu adil kadang diartikan sebagai sebuah harapan mesianistis karena kenyataan sudah sangat menyesakkan.
    Tentang gerakan, yah memang tak semuanya (harus) berumur panjang. Merawat isu, itu yang utama.
    http://bit.ly/7TGFRs

  3. dude. this is SO nice.
    menjawab beberapa pertanyaan skeptis saya terhadap aksi ‘Koin Prita’ belakangan ini..
    thank you, and of course, teruslah maju rakyat kecil.

    anw, jadi kepikiran.. belakangan banyak kasus penindasan rakyat kecil yang jadi ‘ngetrend’ ya? prita dan b**y* vs c*c*k.. hahaha (katanya ga boleh menggunakan istilah itu lagi ya..)

Tinggalkan Balasan ke Ari Juliano Gema Batalkan balasan